DOSA-DOSA NEGARA KAPITALIS G7, DI BALIK BENCANA PEMANASAN BUMI
Oleh Rengganis Santika A, STP
Membakar! Mendidih! Bagai neraka! Itulah kata-kata yang acapkali terlontar mengomentari kondisi suhu dan cuaca selama beberapa bulan terakhir ini. Bumi terasa semakin panas. Suhu harian di beberapa wilayah Indonesia memang meningkat. Para ahli mengatakan, selama matahari masih ada dan disertai adanya tutupan awan minin tanpa hujan, maka suhu panas tak akan pernah berakhir. United Nation atau PBB menghimbau, bahwa panasnya bumi akan makin mengganas pada tahun 2024 ini. Beberapa ahli meteorologi menyebut ini sebagai el nino effect, benarkah semua ini merupakan fenomena alam? Ataukah ada dosa-dosa manusia dibalik musibah pemanasan bumi ini?
Gelombang Panas Membakar Hampir Separuh Bumi
BMKG menyebut dalam sebulan terakhir hingga hari ini, hampir sebagian besar negara-negara di Asia Selatan masih terdampak gelombang panas atau "heatwave", Rabu (26/4/2023). Negara-negara terdampak heatwave di antaranya, China khususnya di ibukota Beijing yang berisiko tinggi mengalami gelombang panas. Jutaan warganya dipastikan terdampak gelombang panas. Pada 18 April lalu, daerah Yuanyang melaporkan suhu mencapai 42,4 derajat celsius. CNN pun melansir berita, Jepang dan Korea mengalami panas yang luar biasa selama pertengahan April. Panas menyebar ke Jepang dan Korea Selatan dengan peningkatan suhu jauh diatas rata-rata.
Sedangkan suhu di ibu kota Thailand, Bangkok, mencapai 40 derajat Celsius. Myanmar turut mencetak rekor suhu pada 17 April, yakni 44 derajat Celsius di daerah Kalewa, Sagaing Tengah. Menurut Departemen Meteorologi Thailand, suhu udara dalam 24 jam sejak Sabtu (22/4) mencapai 43 derajat Celsius, terutama di kawasan utara Negri Gajah Putih itu. Daerah Kumarkhali, kota di distrik Kusthia Bangladesh menjadi daerah terpanas dengan suhu maksimum 51,2° C pada 17 April 2023. 10 kota terpanas di Asia sebagian besar berada di Myanmar dan India. Di Indonesia sendiri, suhu maksimum mencapai 37,2°C di stasiun BMKG Ciputat. Rata-rata suhu di beberapa lokasi berada pada kisaran 34°C - 36°C hingga saat ini.
Diprediksi kekeringan akan melanda mulai April hingga Juni ini. Bulan April-Mei merupakan siklus musim kemarau setiap tahun. "Namun tahun ini, suhu bisa lebih tinggi dari biasanya,” kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Muhammad Firdaus. BMKG menegaskan bahwa fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan ini, jika ditinjau lebih mendalam secara karakteristik fenomena maupun dari indikator statistik pengamatan suhu, tidak termasuk ke dalam kategori gelombang panas. Meski begitu, masyarakat diminta tidak panik dan tetap waspada. Sebab, menurut ketua BMKG Dwikorita, pakar iklim menyimpulkan pemanasan global, perubahan iklim dan gelombang panas mungkin akan sering terjadi.
Para petani mulai khawatir cuaca di Indonesia akan semakin panas memasuki musim kemarau. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dodo Gunawan, mengatakan bahwa gelombang panas tidak berpotensi terjadi di Indonesia. Dikarenakan wilayah geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, yang diselingi oleh laut. Ibarat radiator, laut sebagai pendingin, sehingga tidak dimungkinkan untuk penjalaran panas,” kata Dodo kepada BBC News Indonesia, Selasa (25/4).
Jebakan Ekonomi di Balik Isu Perubahan Iklim dan Dosa-Dosa Kapitalisme
Bumi semakin panas, ekonomi dunia pun makin meleleh. Mengapa? Sebab sumberdaya alam pasti akan terdampak. Heatwave atau gelombang panas tidak hanya menelan korban jiwa, seperti diberitakan 11 orang meninggal di India. Kita harus paham bahwa apapun yang terjadi di dunia saat ini tidak terlepas dari peran (baca: permainan) negara-negara maju atau negara industri. Merekalah representasi para kapitalis. Bukan kapitalisme namanya kalau tidak memanfaatkan celah sekecil apapun demi meraup untung besar. Sekalipun harus menelan korban, atau merugikan pihak lain. Kapitalisme mengajarkan penganutnya cara berpikir berdasarkan azas manfaat, menghalalkan segala cara. Tidak terkecuali dalam isu perubahan iklim ini. Dibalik isu ini, terselip propaganda negara G7, guna menekan negara berkembang.
Masyarakat perlu kritis terhadap pernyataan menkeu sri Mulyani Indrawati. Bahwa fenomena iklim berupa pemanasan bumi yang melanda tanah air, walau tak seburuk negara lain, namun perubahan iklim berdampak bagi perekonomian dunia. Sri Mulyani memaparkan meningkatnya karbondioksida (CO2) lewat kegiatan ekonomi bisa mengancam iklim, dengan terjadinya global warming. Musim kering yang panjang akan memicu kebakaran hutan. Melalui instrumen pajak karbon, Indonesia akan berpartisipasi menurunkan CO2 "dibantu" internasional." Namun, itu bisa terjadi kalau kebijakan fiskal mendukung, salah satunya melalui mekanisme transisi energi. Untuk mencapainya, Sri Mulyani mengungkapkan Indonesia harus memiliki dana lebih dari Rp 3.400 triliun. Jelaslah dibalik pernyataan ini, jebakan hutang siap menanti, dengan dalih bantuan.
Publik mempertanyakan, justru negara-begara maju G7 lah, yang merupakan negara industri sebagai biang kerok global warming. Mereka harus bertanggungjawab terhadap perubahan iklim. Negara-negara G7 adalah negara dengan tingkat konsumi BBM dan emisi karbon tertinggi di dunia. Di Indonesia kerusakan alam berupa deforestasi "paru-paru dunia", juga penambangan batubara, pelakunya adalah para pengusaha oligharky kapitalis. Nampak bahwa pemerintah melalui Menkeu memanfaatkan situasi pemanasan bumi kali ini untuk membuka kran baru hutang atas nama isu perubahan iklim. Padahal kita tahu Indonesiai tidak mengalami heatwave.
Islam Menyolusi Perbaikan Ekonomi Sekaligus Menyelamatkan Iklim Bumi
Filosofi politik ekonomi dalam pandangan islam adalah tercapainya kesejahteraan merata bagi seluruh warga negara. Namun pada saat yang sama negara yang menerapkan islam secara kaaffah yaitu khilafah harus melakukan tata kelola pembangunan dengan landasan aqidah dan terikat Al qur'an dan sunnah. Tidak boleh melakukan kerusakan di muka bumi dengan melakukan eksploitasi SDA secara berlebihan dan serakah. SDA merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh diberikan kepada swasta apalagi asing seperti sekarang. Namun dikelola bagi kesejahteraan rakyat. Bencana pemanasan global memang ada faktor alam tapi yang lebih dominan adalah akibat ulah dan dosa manusia. Yaitu dosa kapitalisme yang melakukan eksploitasi berlebihan. Alam kehilangan peyangga seperti hutan karena deforestasi (gundul) Lapisan ozon yang seharusnya bisa menahan radiasi matahari rusak. Bandingkan ketika dahulu negara khilafah mem-futuhat (membuka) wilayah Sanarkand yang saat itu banyak diliputi rawa-rawa hingga mendapat julukan sebagai wilayah kumuh di dunia. Setelah dikelola khilafah disulap, menjadi 4 wilayah tercantik di dunia. Sekaligus merupakan wilayah yang memberikan pemasukan ekonomi bagi kas Baitul Maal dari hasil pertanian yang berkembang. Lihatlah dalam surah Al A'raf 96, ketika penduduk suatu negri beriman dan bertakwa maka Allah turunkan keberkahan dari langit dan bumi. Sebaliknya ketika manusia berpaling dari syariat maka, seperti dalam QS Thaha: 124, "Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku (syariat Allah), maka mereka mendapat penghidupan yang sempit (banyak musibah, bencana). Wallahu 'alam bish shawab.
Komentar
Posting Komentar