RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA: LEGALISASI KEZALIMAN TERHADAP PEKERJA
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) ditargetkan rampung pada masa sidang mendatang. UU sapu jagat itu diyakini membawa kemaslahatan termasuk di bidang penyiaran.
“Omnibus law selesai Agustus 2020,” kata anggota Komisi I DPR Willy Aditya dalam diskusi virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk ‘Percepatan Digitalisasi Penyiaran,’ Minggu, 12 Juli 2020.
Namun faktanya, RUU Omnibus law Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah terus mendapatkan penolakan dari publik. Serikat buruh hingga mahasiswa ramai-ramai menyatakan penolakannya. Mereka menilai RUU Cipta Kerja terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11 klaster dianggap bermasalah.
Salah satu penolakan datang dari Serikat Pekerja PT PLN (Persero). Ketua Umum DPP SP PT PLN Persero M Abrar Alib mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menimbulkan terjadinya liberalisasi dalam tata kelola listrik di Indonesia.
Sebab,
RUU Cipta Kerja di sub-klaster ketenagakerjaan menghilangkan fungsi legislasi
DPR dalam melakukan pengawasan. Padahal fungsi legislatif menyangkut hal
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk memastikan
pemerintah tidak seenaknya mengatur listrik.
“Listrik adalah aset strategis bangsa. Listrik bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga pertahanan,” ungkap Abrar dalam konferensi pers virtual, Kamis (9/7).
Senada,
Peneliti Pusat Studi Konstitusi ( Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Charles Simabura mengatakan, omnibus law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan
pada kepentingan ekonomi. Menurut Charles, tidak ada pertimbangan keadilan dan
kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut. "Ketika kita
melihat bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi
hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan
kesejahteraan," kata Charles di kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta,
Kamis (5/3/2020).
Ironinya, pemerintah seakan tidak
menggubris keluh kesah rakyatnya sendiri. Revisi Omnibus Law tetap dipaksakan
segera selesai dan pengesahan bisa segera dilakukan, mengingat ada kebutuhan
mendesak untuk memastikan iklim kondusif investasi demi penciptaan lapangan
kerja massal. Sementara serikat pekerja mengkhawatirkan makin rendahnya
pembelaan terhadap pekerja saat terjadi konflik dengan pengusaha karena hak DPR
dan serikat pekerja dikebiri.
Investor atau swasta secara leluasa mendirikan perusahaan dan
membuka lapangan kerja, sementara pemerintah cukup dengan mempermudah dan
menyederhanakan perizinan investasi. Akhirnya yang terjadi cipta lapangan kerja
tanggung jawab pemerintah pun beralih kepada swasta dan mungkin pada investor
asing.
Bisa kita lihat bahwa Investor (korporasi) baik asing maupun swasta
lokal tentu berhitung untung rugi dalam menanamkan modal mereka, sangat jauh
dari tugas untuk kesejahteraan para pekerja. Dan tentunya dengan adanya
investasi maka negara harus memenuhi berbagai persyaratan yang diminta para
investor.
Sangat terlihat bahwa lahirnya RUU ini tidak memihak pada
kepentingan rakyat melainkan memuluskan kepentingan kaum kapitalis pemilik
modal. Rakyatlah yang kemudian menjadi korban kedzaliman penguasa lewat RUU
Omnibus Law Cipta kerja ini.
Akar permasalahannya tak lain dan tak bukan adalah Sistem
Kapitalis-sekuler yang dianut oleh Indonesia saat ini. Karena sistem ini tidak
akan pernah memperhatikan aspek kepentingan rakyat apalagi lingkungan. Yang ada
adalah bagaimana mereka bisa menguasai segala kekayaan negeri ini. Tentu ini
menjadi bahaya yang mengancam bagi seluruh warga negara Indonesia, karena
seharusnya mereka mendapat perlindungan dari negara.
Dalam sistem kapitalisme dengan sistem politiknya demokrasi, maka UU
dibuat berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan berbagai pihak.
Setiap UU yang dibuat seakan-akan menunjukkan keberpihakan pada rakyat dan
untuk kepentingan rakyat tetapi pada faktanya hanya memuluskan kepentingan para
kapitalis.
Dari sini maka perlu kita mencari solusi yang benar dalam
menyelesaikan setiap persoalan hidup termasuk dalam persoalan kenegaraan. Bagi
seorang muslim tidak ada pilihan lain bahwa untuk mengatur kehidupan ini harus
kembali pada aturan dari yang Maha Benar Allah SWT dengan sistem Islam.
Maka sebenarnya, dalam masalah ketenagakerjaan kaum pekerja dan umat
ini membutuhkan riayah (pengurusan) ketenagakerjaan sesuai dengan tatakelola
dalam sistem Islam. Di mana Islam yang mengeliminir terjadinya konflik antara
pekerja dan pengusaha serta memberi solusi paripurna atas problem
ketenagakerjaan.
Wallahu ‘alam bis shawab
Komentar
Posting Komentar