SIAPA DIUNTUNGKAN DARI KONVERSI KOMPOR GAS KE LISTRIK?

Oleh: Rengganis Santika A,STP

Napas sesak rakyat akibat kenaikan BBM kemarin belum juga reda. Kini rakyat masih harus "nyesek" dengan rencana kebijakan konversi kompor gas ke listrik dan pengadaan mobil listrik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan kepada seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas. Perintah tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2022 terkait percepatan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai di instansi pemerintah pusat maupun daerah. Sebenarnya apa tujuan konversi kompor gas ke listrik, termasuk mobil listrik ini? Apakah semua ini untuk kepentingan rakyat? Inilah pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab.

Kebijakan Tambal Sulam, Sarat Ironi

Wacana konversi kompor gas ke kompor listrik muncul karena PLN tengah oversupply produksi listrik, sehingga membebani keuangan perusahaan. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan bahwa rencana konversi kompor gas LPG ke kompor listrik adalah untuk menyiasati kelebihan pasokan listrik PLN. “Menyalurkan oversupply, kan kalau oversupply harus bayar take or pay, ini kan beban,” katanya (CNN Indonesia, 23/09/2022). PLN harus membayar penalti kepada IPP (independent power producer atau perusahaan produsen listrik swasta). Maka kelebihan pasokan PLN butuh untuk diserap, yakni melalui program konversi kompor gas ke kompor listrik. Lantas bagaimana dengan daerah yang pasokan listriknya sulit, daerah yang belum terjangkau listrik memadai atau "byar-pet" bisa-bisa gagal masak, bagaimana pula dengan UMKM?

Selain itu Isu lingkungan juga jadi alasan utama kebijakan ini, sejalan dengan cita-cita besar Indonesia tentang emisi karbon yakni visi net zero emissions pada 2060. "Cita-cita nol emisi karbon perlu disusun langkah strategisnya mulai sekarang, sehingga generasi selanjutnya akan meneruskan dan menikmati hasilnya. Ini amal jariyah kita, untuk mewariskan lingkungan yang lebih sehat dan bersih kepada dunia," begitu kata gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang berencana menyiapkan 189.900 unit mobil listrik. Namun bila dicermati, belum saatnya realisasi konversi ke listrik, negri ini belum siap. Ancaman lingkungan paling krusial bukan pada skala rumah tangga tapi justru dari para kapitalis dengan pabrik-pabrik raksasanya yang jadi biang kerok karhutla, emisi karbon, pencemaran udara, air dan tanah.

Pemerintah mengklaim penggunaan kompor listrik lebih hemat 10—15% dibandingkan kompor gas, dengan asumsi tarif listrik dan harga LPG saat ini di pasar internasional tidak naik. Memasak menggunakan kompor listrik disebut lebih cepat daripada kompor gas sehingga biaya bisa lebih hemat, benarkah? Nampaknya klaim hemat dan cepat  ini harus dikaji ulang, sebab faktanya banyak faktor tergantung kapasitas, jenis yang dimasak, kualitas alat dan lain-lain jadi tidak semudah itu.

Realisasi di lapangan (lagi-lagi) ditunjuk MenKo Kemaritiman dan Investasi, untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, monitoring, evaluasi, dan pengendalian atas pelaksanaan Instruksi Presiden ini. Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan uji coba konversi kompor gas LPG 3 kg ke kompor listrik 1.000 watt. Pemerintah membagikan 2.000 paket kompor listrik untuk uji coba di Denpasar dan Solo. Nantinya, hasil uji coba akan dievaluasi dan menjadi dasar pelaksanaan konversi yang lebih masif tahun depan. Permasalahannya, memang kompornya gratis, tapi daya yang dibutuhkan 1000-2000 watt bagaimana dengan sebagian besar rakyat kecil sebagai konsumen listrik 450 watt, tentu tidak cukup, ironisnya tentu hal ini akan jadi beban tambahan yang mencekik rakyat. Tidak ada jaminan tarip TDL stabil selama dikelola swasta kapitalis yang berorientasi untung rugi. Jadi tidak menutup kemungkinan TDL akan terus naik.

Begitu banyak ironi dari kebijakan tambal sulam ini. Banyak pula pihak yang  mempertanyakan urgensi kebijakan konversi kompor gas ke kompor listrik untuk saat ini. Dengan kebijakan ini, tahun depan pemerintah akan membagikan 300.000 paket kompor listrik dengan anggaran Rp540 triliun. Dalam kondisi ekonomi yang masih babak belur pascapandemi Covid-19, juga kondisi ekonomi global yang sedang lesu karena inflasi, maka urgensi konversi menjadi dipertanyakan. Padahal ketika BBM naik alasannya berat subsidi, Inilah paradoks yang nyata.

Dengan meningkatnya penggunaan listrik, pemerintah tengah mengurangi beban di hilir. Namun, beban jadi berpindah ke hulu dalam bentuk kenaikan pembelian batubara dan BBM impor di hulu pembangkit, pada akhirnya keadaan tidak berubah atau bahkan lebih buruk. Dan pengadaan mobil listrikpun harus impor.  PLN tergantung pada swasta, kompor dan mobil listrik juga dari swasta, kita masih jauh dari mandiri, kita punya sumberdaya nikel sebagai bahan utama baterei untuk perangkat listrik. Tapi negara tak punya political will membangun industri baterei, kompor, mobil dll. Walhasil rakyat gigit jari sebab semua kebijakan dalam sistem kapitalis pada akhirnya hanya akan menguntungkan segelintir kapitalis, oligharki, dan korporasi swasta dan asing.

Islam Mewujudkan Negara Dengan Kemandirian Energi

Mewujudkan energi yang bersih dan efisien adalah cita-cita mulia sebuah negri. Namun, untuk menuju kesana  tidak bisa dengan kebijakan tambal sulam dengan memindahkan beban dari hilir ke hulu; atau mengurangi impor BBM, tetapi menaikkan impor mobil listrik.Oleh karena itu, kita butuh visi besar berlandaskan ideologi sahih untuk mewujudkan kemandirian energi sehingga tidak tergantung kepada impor. Untuk itu butuh penerapan sistem ekonomi Islam yang salah satu wujud aturannya adalah menjadikan tambang strategis menjadi milik umum yang dikelola negara demi kemakmuran rakyat. Dalam syariat islam rakyat yang diuntungkan.

Islam sebagai ideologi dalam bingkai negara,  akan mampu mewujudkan visi kemandirian energi. Selain itu, butuh peta jalan untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi yang diramu berdasarkan syariat islam, bukan peta jalan yang didominasi kepentingan swasta, oligharki dan korporasi. Maka negara yang menerapkan islam secara kaaffah dalam bingkai Khilafah menjadi negara yang rahmatan lil alamin. Kedaulatan dan kemandirian negara adalah semata-mata bagi kesejahteraan rakyat...Wallahualam.

 

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter