Problematika PPDB Zonasi
Sebagai upaya untuk menghilangkan kastanisasi sekolah unggulan, pemerintah menetapkan kebijakan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 51 Tahun 2018. Setelah berjalan sekitar 5 tahun, kebijakan sistem zonasi sayangnya masih memunculkan persoalan dan kisruh setiap berlangsung.
Pada tahun ini, PPDB di berbagai daerah seperti di Bogor, Bekasi, dan Kepulauan Riau diwarnai berbagai kecurangan. Berbagai modus dilakukan agar calon siswa diterima di sekolah favorit melalui jalur zonasi. Berdasarkan catatan Tempo (13/07/23) praktik curang tersebut terangkum menjadi beberapa peristiwa, di antaranya:
Pertama, terjadi praktik jual beli kursi di Karawang dan Bengkulu. Untuk jalur ini, salah seorang warga kecamatan Karawang Timur mengaku harus mengeluarkan uang sekitar Rp3 juta rupiah agar anaknya diterima di SMPN di wilayah Karawang Barat.
Kedua, pungutan liar di Karawang. Salah satu SMPN di Kecamatan Karawang Timur
diduga menarik uang kepada seluruh orang tua siswa dengan nominal Rp1 juta rupiah.
Ketiga, domisi yang tidak sesuai KK di Bogor.
Keempat, terjadi manipulasi dan pemalsuan KK di Bogor, Bekasi, dan Pekan Baru. Praktik
ini ditemukan setelah sejumlah nama siswa yang berada di kontrakan (kos-kosan) kosong
atau kos-kosan yang dihuni oleh para pekerja. Selain itu, ada dugaan menitipkan
identitas di KK terdekat zonasi dengan membuat KK palsu.
Kelima, pejabat menitipkan calon siswa ke SMA tertentu di Kepulauan Riau.
Keculasan sistem PPDB zonasi menjadi bukti tidak tepatnya kebijakan yang
ditetapkan.Masalah fundamental sistem PPDB saat ini adalah paradigma tentang
sekolah. Sistem yang diterapkan hari ini, yakni sistem kehidupan Sekularisme Kapitalisme,
menjadikan standar keberhasilan sekolah diukur dari materi. Standar kesuksesan
adalah mereka yang pintar dan kaya. Cara pandang inilah yang memunculkan
istilah sekolah favorit (unggulan) dan sekolah biasa (pinggiran).
Negara hari ini sepertinya setengah hati dalam membangun negeri. Sehingga
terjadi disharmonisasi infrastruktur penunjang pendidikan, dengan adanya
sekolah yang bagus dari segi fasilitas, ada juga sekolah yang fasilitasnya
hanya ala kadar. Perbedaan fasilitas ini membuat sebagian orang tua yang kaya
rela menghalalkan segala cara agar anaknya dapat masuk ke sekolah yang
fasilitasnya bagus dan dikenal sebagai sekolah unggulan (favorit). Sedangkan
orang tua dari golongan ekonomi menengah ke bawah tidak bisa berbuat banyak.
Inilah kegagalan sistem pendidikan Sekularisme Kapitalisme. Sistem ini sampai
mendorong masyarakat untuk berbuat curang agar anaknya bisa masuk ke sekolah
yang dikehendakinya.
Sangat berbeda dengan sistem PPDB dalam Islam. Sekolah adalah hak bagi setiap
anak, baik yang kaya ataupun yg miskin, baik dari keluarga muslim ataupun dari
keluarga nonmuslim. Sekolah merupakan sarana pendidikan yang akan dijamin oleh
negara dalam sistem Islam secara langsung, karena pendidikan termasuk kebutuhan
dasar publik. Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah SAW yang menetapkan
kebijakan bahwa untuk sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus
pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada 10 anak-anak Madinah
sebagai ganti tebusannya. Kebijakan ini muncul ketika Rasulullah SAW menjadi
pemimpin negara Islam di Madinah.
Jaminan secara langsung pendidikan oleh pemimpin dalam sistem Islam akan
membuat sekolah-sekolah memiliki kualitas yang sama. Pemimpinnya akan membangun
infrastruktur dan fasilitas penunjang untuk kegiatan belajar dan mengajar di
sekolah, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai praktek, buku-buku
pelajaran, teknologi yang mendukung KBM, dan sebagainya.
Negara dalam sistem Islam akan menjamin tenaga pengajar dan administratif
sekolah adalah orang yang amanah, kompeten, dan ahli di bidangnya, sehingga
atmosfer sekolah akan benar-benar khidmat sebagai tempat mencari ilmu, bahkan
sekolah-sekolah disediakan secara gratis kepada seluruh warga tanpa memandang
kelas sosial.
Konsep sekolah dalam sistem Islam akan menghilangkan
istilah sekolah unggulan dan pinggiran juga tidak perlu adanya sistem zonasi, karena
semua sekolah diunggulkan dan semua siswa bisa bersekolah di mana saja, karena
failitasnya yang sama dan merata. Selain itu, kurikulum sekolah dalam sistem
Islam menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Dengan demikian dalam setiap proses
pembelajaran, anak didik akan senantiasa diingatkan akan keberadaannya sebagai
hamba Allah.
Inilah jaminan kualitas hasil pendidikan dalam sistem Islam. Anak didiknya
memiliki pola pikir dan pola sikap ysng tunduk kepada syariat Islam. Selanjutnya
mereka juga akan dibekali ilmu alat seperti sains dan teknologi untuk menunjang
kehidupan dunia mereka, sehingga kelak mereka siap memperdalam keilmuannya ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan memanfaatkan ilmunya untuk kemuliaan
Islam dan kebaikan seluruh kaum muslim. Wallahu a’lam bi shawab.
Oleh Eli Maryati
Komentar
Posting Komentar