PHK Masal Buah Penerapan Sistem Kapitalis
Penulis : Neni Resmi
Ribuan buruh industri tekstil dilaporkan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal itu diungkapkan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi.
Menurutnya, dari data yang dihimpun KSPN, ada 6 perusahaan tekstil yang kembali melakukan PHK.
Selain itu, Ristadi mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang mencatat sepanjang tahun 2022 ada PHK sebanyak 345.000 pekerja di industri TPT nasional. Dan, katanya, per Agustus 2023, ada 26.540 pekerja yang dirumahkan mengarah PHK.
Dari angka itu, tercatat yang PHK total sebanyak 4.584 pekerja, sedangkan 460 pekerja lainnya menunggu nasib saat dirumahkan.
Menurut Ristadi, pemicu gelombang PHK yang masih berlanjut ada berbagai faktor, mulai dari tak mampu bertahan di tengah serbuan produk impor hingga anjloknya kinerja ekspor.
"Kondisi ini disebabkan berkurangnya order bahkan sampai tidak ada order. Diprediksi angka PHK jauh lebih besar karena banyak perusahaan yang tidak melaporkan ke pemerintah saat melakukan PHK atau tutup pabrik," ungkapnya.
"Juga, begitu banyak barang-barang TPT bekas dari luar negeri di pasar-pasar tradisional/pasar tumpah yang harganya jauh lebih murah dari harga produksi IKM TPT dalam negeri," kata Ristadi.
Fenomena PHK di negeri ini karena lepasnya tanggung jawab negara dalam menjamin penyediaan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.
Negara hanya bertindak sebagai regulator yang menyerahkan ketersediaan lapangan pekerjaan kepada pihak swasta. Padahal sampai kapanpun pihak swasta tidak akan menjamin hal terdebut, pihak swasta hanya berorientasi untung dalam menjalankan bisnisnya. Jika mereka harus memangkas karyawan untuk menyelamatkan perusahaannya hal tersebut akan di lakukan. Alhasil rakyat akan terus dihantui oleh PHK yang berujung pada ketidakmampuan rakyat memenuhi kebutuhan asasiyahnya.
Apalagi sebagian besar industri dalam sistem kapitalisme dibangun diatas sektor nonril sebab permodalannya berbasis saham, bursa efek, dan ribawi. Sektor nonril ini tumbuh dengan pesat, bahkan nilai transaksinya bisa mencapai sepuluh kali lipat dari sektor ril. Pertumbuhan uang beredar akan jauh lebih cepat dari sektor ril.
Hal ini akan mendorong terjadinya inflasi dan penggelembungan harga aset, sehingga menyebabkan turunnya produksi dan investasi di sektor ril.
Kebangkrutan perusahaan dan PHK pun tak terhindarkan, hal ini di perparah dengan kebijakan perdagangan yang menyebabkan arus impor berbagai jenis barang termasuk tekstil. Alhasil produk industri dalam negeri harus bersaing dengan produk luar negri dimana proses impornya semakin di permudah oleh negara, bahkan bebas hambatan.
Dukungan negara menciptakan iklim usaha yang kondusif masih sangat minim, pengusaha lokal tidak bermodal besar sebagaimana pengusaha asing, sehingga produk yang di hasilkan pengusaha lokal tidak akan mampu bersaing dengan produk impor.
Selama sistem ekonomi kapitalisme dijadikan standar mengatur perekonomian negri ini, maka rapot merah perekonomian akan terus terjadi, salah satunya masifnya PHK yang berujung pada tingginya angka pengangguran. Krisis ekonomi akan terus terjadi mengakibatkan rakyat sengsara.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Dalam skala makro Islam akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menjaga stabilitas ekonomi. Hal itu dilakukan dengan menerapkan UU larangan praktik ribawi, penerapan moneter emas dan perak dan kebijakan piskal berbasis syariah. Dengan stabilnya iklim usaha maka produksi berjalan baik sehingga berefek serapan tenaga kerja yang berjalan masif.
Dalam sistem Islam laki-laki di haramkan menganggur apalagi bermalas malasan, karena itu menjalankan strategi jitu dengan turun tangan langsung memastikan hal ini. Negara Islam juga memiliki proyek-proyek pengelolaan kepemilikan umum antara lain SDA yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Komentar
Posting Komentar