Rempang, Ironi Kedaulatan Rakyat
Oleh :Mira
Sejumlah warga melintas di perkampungan nelayan sembulan, pulau Rempang, Batam kepulauan Riau, Rabu 27/9/2023. Sebanyak 4 kampung dari 16 kampung tua bakal terdampak relokasi.
Meskipun sempat ditunda, masyarakat Rempang masih cemas. Berharap dihentikan pengosongan ini. Pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP)Batam memperpanjang tanggal waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung - kampung tua.
Melihat masyarakat Rempang yang terancam diusir dari tanah yang sudah mereka tinggali selama berpuluh tahun, menimbulkan pertanyaan bagi kita, lantas siapa yang berdaulat di Rempang? Teori demokrasi mengatakan bahwa "kedaulatan ada di tangan rakyat." Namun sesungguhnya, itu hanya ilusi belaka karena kenyatannya tidaklah demikian. Masyarakat Rempang tidak memiliki daulat atas wilayahnya sendiri. Adanya kasus ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kedaulatan ada di tangan para pemilik modal (kapitalis), bukan di tangan rakyat.
Menurut Ombudsman RI, masyarakat Rempang sudah berusaha melegalkan tanahnya. Namun, pemerintah menolak permohonan tersebut sehingga mereka tetap tidak memiliki bukti legal kepemilikan rumah. Anehnya, pemerintah justru menetapkan Pulau Rempang sebagai lokasi pengembangan proyek strategis nasional (PSN), padahal kondisinya berpenghuni. Masyarakat jelas menentang kebijakan ini. Terlebih saat lokasi pemindahan belum siap, masyarakat pun makin merasa jika tawaran ganti rugi pemerintah "hanya janji pemanis bibir". Juga, belum ada hukum mengenai uang tunggu, kompensasi rumah pengganti, dan hunian sementara bagi penduduk.
Sebenarnya, masyarakat kampung-kampung tua di Pulau Rempang telah ada sejak lama. Mereka memiliki KTP dan membayar pajak bumi bangunan. Selain itu, terdapat banyak bukti, seperti ijazah sekolah, patok tanda batas antarkampung, makam tua, dan tugu. Presiden Joko Widodo pernah berjanji untuk memberikan sertifikat kepada mereka. Sayangnya, semua itu hanya janji di bibir saja.
Demikianlah jika sistem demokrasi kapitalis yang diterapkan, konflik agraria pun akan kerap terjadi, tak terkecuali di negeri ini. Selama ini, pemerintah lebih berpihak pada pengusaha kapitalis daripada rakyatnya. Negara bahkan menggunakan militer untuk mengusir penduduk lokal. Hal inilah yang membuktikan bahwa kedaulatan rakyat yang selama ini digembar-gemborkan demokrasi ternyata hanya sebatas jargon semu.
Rasulullah SAW bersabda
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang lain ( HR at- Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad)
Perampasan lahan tanpa alasan syar' i adalah perbuatan ghasah dan zalim.Allah SWT telah mengharumkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil termasuk dengan cara menyuap penguasa.
Allah SWT berfirman
" Janganlah kalian makan harta diantara kalian dengan cara yang batil ( jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu( TQS.al- Baqarah (2):188)
Ayat di atas secara tegas mengancam siapa saja yang ingin menguasai harta orang lain termasuk menguasai lahan orang lain, dengan cara menyuap penguasa.
Hanya syariah Islam yang bisa memberikan perlindungan menyeluruh dan berkeadilan untuk seluruh umat manusia. Bergegaslah menuju penerapannya.Dengan penerapan syariah Islam, Allah SWT pasti akan mendatangkan di keberkahan melimpah untuk umat manusia

Komentar
Posting Komentar