Idul Adha dan Luka Gaza : Potret Retaknya Persatuan Umat
Lebih dari tiga juta Muslim dari berbagai penjuru dunia kembali memenuhi Masjidil Haram dan Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Momen ini menunjukkan pemandangan luar biasa: lautan manusia dari beragam suku, bangsa, warna kulit, dan bahasa, menyatu dalam kekhusyukan yang sama, mengenakan pakaian ihram yang sama, berseru dalam talbiyah yang sama, hanya untuk satu tujuan—menggapai keridaan Allah SWT.
Tak ada sekat status sosial, etnis, atau kewarganegaraan. Inilah bukti nyata bahwa persatuan umat Islam bukanlah berdasarkan kesamaan budaya, etnis, atau kepentingan politik, tetapi karena satu hal yang mendasar: aqidah Islam. Inilah kekuatan hakiki yang mempersatukan hati-hati umat, melampaui batas-batas duniawi.
Namun, di tengah semangat persatuan itu, kita juga menyaksikan sebuah ironi. Perbedaan penetapan hari raya Idul Adha 1446 H antara Arab Saudi dan sebagian umat Islam di Indonesia kembali mencuat. Pemerintah Arab Saudi menetapkan wukuf di Arafah pada 5 Juni 2025 dan Idul Adha pada 6 Juni 2025. Sementara itu, organisasi seperti Muhammadiyah dan beberapa negara anggota MABIMS berbeda dalam menentukan hari raya. Bahkan menurut para ahli BRIN dan ulasan Suara Muhammadiyah, perbedaan ini semakin memperlihatkan keretakan narasi pemersatu umat. Alih-alih menjadi momentum persatuan global, Idul Adha justru menyingkap kerapuhan yang belum selesai di antara umat Islam.
Padahal, Idul Adha adalah momen agung yang mengajarkan pengorbanan dan ketaatan total kepada Allah. Seharusnya ini menjadi titik tolak bagi umat Islam untuk kembali kepada syariat secara menyeluruh—tidak hanya dalam aspek ritual, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan politik.
Umat Islam yang jumlahnya hampir dua miliar jiwa sesungguhnya bisa menjadi kekuatan global yang disegani jika bersatu dalam satu barisan. Namun, saat ini umat justru terpecah belah oleh batas-batas nasionalisme, golongan, dan mazhab. Di satu sisi, saat jutaan Muslim berhaji, kita menyaksikan simbol luar biasa dari potensi persatuan global. Namun sayangnya, usai musim haji dan hari raya, umat kembali tercerai-berai, bahkan saling berselisih, melupakan jeritan saudara-saudara mereka di Palestina, Suriah, Uighur, Rohingya, dan wilayah-wilayah lain yang terjajah.
Di Gaza, penderitaan terus berlangsung. Idul Adha bagi warga Gaza tidak diisi dengan takbir dan kurban, melainkan kelaparan, reruntuhan bangunan, dan jenazah syuhada yang tak bisa dikuburkan. Terbaru, Zionis Yahudi bahkan melarang masuknya hewan kurban ke Jalur Gaza, menyebabkan ratusan ribu keluarga kehilangan kesempatan melaksanakan syariat kurban. (tempo.co, 16/06/2024).
Namun yang lebih menyedihkan adalah sikap sebagian besar penguasa negeri-negeri Muslim yang hanya lantang mengecam lewat lisan, tapi enggan mengulurkan tangan. Bahkan ada yang menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan penjajah Zionis, membuka gerbang normalisasi yang melukai umat. Mesir, misalnya, bukan saja menolak membuka perbatasan Rafah bagi pengungsi Gaza, tapi juga menghalangi bantuan kemanusiaan dari saudara seiman di luar negeri.
Lebih ironis lagi, sebagian penguasa negeri Muslim justru membungkam aksi bela Palestina di dalam negeri mereka sendiri. Para demonstran ditangkap, suara rakyat dibungkam, dan empati dibatasi oleh rezim yang lebih takut pada stabilitas politik dibanding tanggung jawab ukhrawi. Padahal Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang diamanahi memimpin urusan umat, lalu menutup diri dari orang lemah dan yang membutuhkan, maka Allah akan menutup diri dari pemimpin itu pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad).
Inilah wajah umat hari ini—terkoyak oleh batas negara, dilemahkan oleh perpecahan internal, dan dibungkam oleh kepentingan politik. Maka, pertanyaannya: sampai kapan persatuan umat ini hanya menjadi ilusi musiman saat haji dan Idul Adha, sementara di luar itu kita saling berpaling dan bersaing?
Persatuan sejati tidak cukup dengan seruan atau seremoni. Ia butuh institusi nyata—sebuah kepemimpinan tunggal yang menyatukan umat dalam satu visi, satu sistem, dan satu tubuh. Itulah Khilafah Islamiyah, institusi politik yang pernah menyatukan umat selama lebih dari seribu tahun, menjaga kehormatan mereka, dan menghadirkan keadilan di bawah naungan syariat.
Idul Adha seharusnya tidak hanya mengingatkan kita pada kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS, tapi juga mendorong kita untuk taat total kepada Allah—dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan umat, keadilan, dan kepemimpinan. Bukan hanya sekadar ritual tahunan, tapi momentum kebangkitan untuk menyatukan kembali tubuh umat yang telah lama tercerai.
Komentar
Posting Komentar