Kekerasan Seksual di Pesantren Terus Berulang, Saatnya Kembali pada Sistem Islam

Oleh Iis Nurhasanah

Kekerasan seksual yang berulang sangat memprihatinkan dan menyesakkan dada. Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan menjadi harapan besar orang tua untuk menitipkan anaknya agar dididik dan dibekali dengan berbagai tsaqafah Islam, sehingga menjadi anak saleh yang faqih fiddin dan terhindar dari kerusakan pergaulan dan lingkungan di luaran sana. Namun, harapan tersebut seolah sirna dengan banyaknya kasus pelecehan seksual di pesantren yang umumnya dilakukan oleh kyai atau ustaz yang seharusnya mendidik dan melindungi para santri.

Kasus pelecehan seksual terhadap delapan santriwati di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, mengungkap kegagalan sistematis dalam pengawasan lembaga pendidikan agama. Dulu kita sering melihat dan mendengar berita seperti ini dari luar daerah atau wilayah, tapi kini kita dapatkan kasus tersebut di depan mata kita. Sungguh miris bukan?

Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bandung, Ade Irpan Al Anshory, menegaskan kasus pelecehan seksual di pesantren dan lembaga keagamaan lainnya merupakan masalah serius yang harus segera ditangani secara sistematis. Beliau mendesak Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bandung untuk lebih serius dalam melakukan pembinaan dan pencegahan di lingkungan pendidikan pesantren. Kemenag sendiri telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi kekerasan di pesantren, seperti Kepdirjen Pendis Nomor 4836 Tahun 2022 tentang Pedoman Pesantren Ramah Anak. Selain itu juga Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. “Namun, implementasi di lapangan masih perlu ditingkatkan,” tandas Ade.

Pola kehidupan sekulerisme dan liberalisme yang berkembang di masyarakat, serta mudahnya akses pornografi dan pornoaksi juga mempengaruhi pola pikir dan pola sikap kyai dan ustaz di pesantren. Pola kehidupan sekuler dan liberal ini telah berhasil mengubah cara pandang sebagian umat Islam, tidak terkecuali kyai dan ustaz terhadap santri dengan pandangan jinsiyah. Ketika ada kesempatan, mudah bagi mereka melakukan tindak kejahatan seksual. Selain itu, paham sekuler dan liberal juga kuat pengaruhnya dalam kehidupan, hingga orang yang dipandang memiliki pengetahuan agama yang cukup pun bisa tergelincir dalam kemaksiatan.

Selama pengaturan kehidupan dibangun atas asas sekularisme, maka liberalisme akan tumbuh subur dan berbagai kemaksiatan akan terus bermunculan, termasuk kekerasan seksual di pesantren. Terlebih, sanksi bagi pelaku tindak kekerasan seksual tidak menjerakan.

Adapun sistem pemerintahan Islam melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan seksual. Perempuan di dalam Islam harus dimuliakan dan dijaga martabat dan kehormatannya. Islam mengharamkan segala bentuk kekerasan dan penindasan, termasuk kejahatan seksual. Allah SWT berfirman:

“… Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi” (QS. An-Nur: 33).

Kapabilitas sistem Islam dalam melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan dapat dilihat dari rekam sejarah peradaban Islam. Pada tahun 837 M, Al-Mu’tashim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah, “Di mana kau Mutashim… tolonglah aku!” Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, sang khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.

Konsep-konsep terkait perlindungan dan jaminan terhadap perempuan dalam hak-hak dasar sebagai manusia dapat ditemukan dalam banyak literatur-literatur Islam. Islam melindungi perempuan dari pelecehan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti:

1. Penerapan aturan-aturan Islam yang dikhususkan untuk menjaga kehormatan dan martabat perempuan. Misalnya, kewajiban menutup aurat (QS. An-Nur: 31), berjilbab ketika memasuki kehidupan publik (QS. Al-Ahzab: 59), larangan berhias berlebihan atau tabbaruj (QS. Al-A’raaf: 31 dan QS. Al-Ahzab: 33), serta adanya pendampingan mahrom (kakek, ayah, saudara laki-laki dan adik ayah) atau suami ketika perempuan melakukan perjalanan lebih dari 24 jam. Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya” (HR Muslim no. 1339).

2. Penerapan aturan-aturan Islam terkait pergaulan laki-laki dan perempuan. Misalnya, perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki (QS. An-Nur: 30) dan perempuan (QS. An-Nur: 31), larangan berduaan dan campur baur antar laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang laki-laki tidak boleh berduaan (khalwat) dengan seorang perempuan kecuali wanita tersebut bersama mahramnya” (HR Muslim).

3. Penerapan sanksi yang berat bagi pelaku pelecehan. Misalnya, pelaku pemerkosaan akan dihukum had zina (QS. Al-Maidah: 33). Jika pelakunya belum pernah menikah maka dicambuk 100x, jika sudah pernah menikah, dirajam hingga mati.

4. Orang yang berusaha melakukan zina dengan perempuan namun tidak sampai melakukannya, maka dia akan diberi sanksi tiga tahun penjara, ditambah hukuman cambuk dan pengasingan. Hukuman yang diberikan akan dimaksimalkan jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti pembantu perempuannya atau pegawainya.

Selain itu, Islam juga melindungi perempuan dari kekerasan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan, seperti perintah mempergauli istri secara ma’ruf dan larangan berbuat aniaya terhadap istri (QS. Al-Baqarah: 228-229 dan QS. An-Nisa: 19).

Penerapan sanksi bagi pelaku kekerasan di antaranya adalah pelaku akan dihukum qishas jika terjadi pembunuhan atau dihukum ta’zir maupun membayar denda (diyat) jika terjadi penganiayaan fisik.

Oleh karena itu, solusi terkait kekerasan seksual adalah mengubah asas sekularisme dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kemudian mengembalikan Islam kaffah sebagai asas bangunan kehidupan sehingga akan melahirkan pola kehidupan Islami. Selain itu juga harus diterapkan hukuman atau sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan kekerasan seksual, baik di pesantren maupun tempat lain. Hal ini bisa terwujud hanya dalam sistem pemerintahan Islam yaitu khilafah. Wallahu a'lamu bi as-shawab.

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter