Pembangunan Tol dan Kereta Gantung: Untuk Atasi Macet atau Demi Pariwisata?

Oleh : Nena

Rencana pembangunan infrastruktur besar kembali digaungkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung. Bupati Bandung, Dadang Supriatna, berencana membangun jalan tol yang menghubungkan tiga kawasan strategis, yaitu Soreang, Pangalengan, dan Ciwidey, bahkan akan diperpanjang hingga Cidaun. Proyek yang sudah diwacanakan sejak April 2022 ini diperkirakan menelan biaya sekitar Rp6 triliun. Jumlah yang fantastis, mengingat APBD Kabupaten Bandung tahun 2025 saja hanya sekitar Rp7,5 triliun dengan alokasi anggaran infrastruktur sekitar Rp805 miliar. Maka tak mengherankan jika Pemkab Bandung berharap proyek tol ini bisa masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) agar bisa mendapatkan dukungan pendanaan dari pemerintah pusat dan pihak swasta.


Namun di balik ambisi pembangunan ini, muncul pertanyaan besar: dari mana sumber dana sebesar itu akan diperoleh? Jika tidak berasal dari APBD, maka opsi yang paling mungkin adalah melalui konsorsium swasta, BUMN, atau investor asing, baik dengan skema utang maupun Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dan di sinilah masalahnya: tidak ada makan siang gratis dalam dunia kapitalisme. Keterlibatan para investor ini tentu bukan tanpa motif. Di balik jargon pembangunan dan pemerataan ekonomi, ada kepentingan bisnis yang besar. Jalan tol yang semestinya menjadi fasilitas publik berpotensi berubah menjadi objek komersialisasi, di mana rakyat harus membayar untuk menikmati hak dasarnya—akses jalan. Inilah bentuk liberalisasi kepemilikan umum yang kian meluas di bawah sistem ekonomi kapitalistik.


Jika ditelisik lebih jauh, pilihan tiga lokasi tol, yaitu Soreang, Pangalengan, dan Ciwidey, bukan tanpa alasan. Wilayah ini dikenal sebagai kawasan wisata unggulan Kabupaten Bandung. Pemerintah daerah berdalih pembangunan tol dan kereta gantung akan mengurai kemacetan dan memperlancar mobilitas wisatawan. Namun pada kenyataannya, pembangunan ini lebih condong untuk menggenjot sektor pariwisata ketimbang menjawab persoalan mendasar warga seperti pendidikan, lapangan kerja, dan kesejahteraan petani. Dengan mengandalkan pariwisata sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, pemerintah justru menjerumuskan daerah pada ketergantungan ekonomi yang rapuh.


Sektor pariwisata adalah industri musiman yang sangat rentan terhadap krisis. Pandemi Covid-19 menjadi bukti nyata bagaimana ribuan pelaku wisata kehilangan mata pencaharian hanya dalam hitungan bulan. Ketika wisatawan berkurang, ekonomi yang bergantung pada pariwisata pun terpuruk. Maka, menjadikan pariwisata sebagai tumpuan utama pembangunan adalah langkah yang tidak visioner. Lebih dari itu, geliat industri wisata yang tak dibingkai nilai Islam juga membuka ruang bagi maraknya kemaksiatan dan pergeseran moral masyarakat, seperti meningkatnya pergaulan bebas, konsumsi alkohol, serta eksploitasi alam atas nama hiburan.


Dampak lain yang tak kalah berbahaya adalah ancaman kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan. Pembangunan jalan tol dan fasilitas wisata di Pangalengan maupun Ciwidey akan menuntut pembukaan lahan besar-besaran, penebangan pohon, dan penggusuran lahan pertanian produktif. Padahal wilayah tersebut selama ini merupakan sentra pertanian dan perkebunan Kabupaten Bandung. Jika pembangunan dilakukan tanpa perencanaan matang dan orientasi yang jelas, maka masyarakat kecil—terutama petani—akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka kehilangan tanah, kehilangan penghasilan, dan kehilangan jati diri sebagai penopang ketahanan pangan daerah.


Sebenarnya, pembangunan yang ideal harus bersifat multisektoral dan berkelanjutan, bukan sekadar untuk menunjang sektor wisata. Prioritas pertama seharusnya adalah pendidikan, karena dari sanalah lahir sumber daya manusia (SDM) yang unggul, kreatif, dan mandiri. SDM yang terdidik adalah modal utama untuk mengembangkan sektor lain, termasuk industri dan teknologi. Sayangnya, perhatian terhadap pendidikan sering kalah oleh proyek-proyek fisik yang lebih cepat terlihat hasilnya secara politik. Jika dana besar seperti Rp6 triliun itu dialokasikan untuk memperkuat sistem pendidikan, memperbaiki sekolah, meningkatkan gaji guru, dan menyediakan sarana riset, hasilnya akan jauh lebih berkelanjutan daripada membangun tol wisata.


Selain pendidikan, daerah juga harus berinvestasi dalam industri berat dan lapangan kerja strategis yang bisa menopang ekonomi jangka panjang. Industri berbasis riset, manufaktur, atau bahkan pertahanan bisa menjadi pilar kemandirian ekonomi. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat tidak lagi bergantung pada naik-turunnya jumlah wisatawan, tetapi pada produktivitas dan kekuatan ekonomi riil. Infrastruktur pun seharusnya dibangun untuk mendukung pendidikan, industri, dan kebutuhan publik, bukan hanya memanjakan sektor pariwisata.


Islam memiliki pandangan yang sangat jelas dalam hal pembangunan. Dalam sistem Islam, seluruh infrastruktur dibangun atas dasar kemaslahatan umat, bukan keuntungan investor. Negara bertanggung jawab penuh dalam penyediaan fasilitas umum seperti jalan, jembatan, transportasi, dan energi, karena semua itu termasuk kategori kepemilikan umum yang haram diserahkan kepada swasta. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menjadi dasar bahwa sumber daya publik tidak boleh diprivatisasi, apalagi dijadikan alat bisnis.


Oleh sebab itu, sistem Islam tidak mengenal konsep KPBU atau utang luar negeri untuk membangun infrastruktur. Negara akan membiayai pembangunan dengan mengelola kepemilikan umum secara langsung dan efisien. Dengan demikian, hasilnya benar-benar kembali kepada rakyat, bukan kepada segelintir oligarki. Lebih dari itu, pembangunan dalam Islam tidak hanya menekankan aspek fisik, tetapi juga pembangunan manusia dan moral masyarakat. Karena tanpa manusia yang beriman dan berilmu, semua jalan tol, gedung, dan jembatan hanyalah bangunan kosong tanpa arah.


Maka, jika pembangunan tol dan kereta gantung di Bandung Selatan hanya didorong oleh kepentingan ekonomi dan pariwisata, maka hasilnya tak akan jauh berbeda dari proyek kapitalistik lainnya: menguntungkan investor, tapi meninggalkan rakyat dalam kesulitan. Solusi sejatinya adalah kembali pada paradigma Islam dalam membangun—yang berorientasi pada kemaslahatan, kemandirian, dan keberlanjutan. Hanya dengan sistem Islam, pembangunan tak lagi menjadi alat pencitraan, tetapi sarana untuk menegakkan kesejahteraan hakiki yang diridhai Allah ﷻ.



Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter