Sekolah Rakyat, Mampukah Menyelesaikan Persoalan Pendidikan?
Oleh : Nena Fatimah
Pemerintah Kabupaten Bandung tengah mempercepat pembangunan Sekolah Rakyat (SR) di wilayah Ciwidey yang ditargetkan rampung pada Juni 2026. Sekolah ini diproyeksikan mampu menampung hingga seribu siswa. Bupati Bandung, Dadang Supriatna, menyampaikan bahwa lahan seluas delapan hektare telah disiapkan untuk pembangunan tersebut. Langkah ini dinilai penting karena kebutuhan ruang belajar akan meningkat dalam waktu dekat. Ia menugaskan Dinas PUTR dan satuan kerja terkait untuk mengawal percepatan pembangunan dengan dukungan Kementerian Sosial. Bahkan, Kang DS juga mengusulkan agar Kabupaten Bandung memiliki dua Sekolah Rakyat, masing-masing di Ciwidey dan Nagreg, demi menjawab kebutuhan pendidikan masyarakat di wilayah yang luas.
Sekilas, gagasan pembangunan Sekolah Rakyat tampak mulia. Program ini seolah menjadi jawaban bagi keterbatasan akses pendidikan di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Namun jika dicermati lebih dalam, langkah tersebut belum menyentuh akar persoalan pendidikan nasional. Krisis pendidikan di Indonesia bukan semata kekurangan ruang belajar atau bangunan sekolah, melainkan lemahnya sistem dan rendahnya kualitas pendidikan itu sendiri. Banyak siswa menengah atas tak mampu mengerjakan soal matematika dasar, kemampuan literasi menurun, dan orientasi pendidikan lebih menekankan nilai angka daripada pembentukan karakter dan akhlak.
Kondisi tenaga pendidik pun memprihatinkan. Ribuan guru honorer menerima gaji jauh di bawah standar hidup layak. Sementara itu, pemerintah lebih berfokus pada proyek pembangunan fisik ketimbang kesejahteraan dan pengembangan kualitas guru. Di sisi lain, ketimpangan fasilitas antara sekolah di kota dan di pelosok masih sangat mencolok. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang berjalan hari ini tidak dirancang untuk membangun kualitas manusia, melainkan sekadar mengejar pencitraan dan statistik angka partisipasi.
Sekolah Rakyat akhirnya terlihat hanya sebagai program populis. Pemerintah gencar menampilkan proyek ini sebagai bentuk keberpihakan kepada rakyat kecil, padahal hakikatnya masih berputar pada pola lama: memperbanyak bangunan tanpa memperbaiki isi. Membangun gedung baru tidak akan mengubah kualitas pendidikan jika kurikulum tetap sekuler dan kesejahteraan guru diabaikan. Inilah sebabnya mengapa berbagai program pendidikan kerap gagal membawa perubahan signifikan—karena hanya mengobati gejala, bukan penyakitnya.
Lebih jauh lagi, akar dari persoalan ini terletak pada sistem kapitalisme yang melandasi penyelenggaraan pendidikan. Dalam sistem ini, pendidikan dianggap sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan, bukan hak dasar rakyat. Sekolah negeri pun tidak benar-benar gratis karena masih ada berbagai pungutan. Sedangkan sekolah swasta memasang biaya selangit, membuat rakyat miskin kesulitan mengakses pendidikan berkualitas. Pada akhirnya, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu, sementara kaum dhuafa harus puas dengan fasilitas seadanya.
Padahal, Islam memandang pendidikan sebagai hak setiap individu dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam sistem Islam, negara tidak boleh membiarkan warganya buta ilmu karena faktor ekonomi. Negara menanggung seluruh pembiayaan pendidikan melalui pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang, hutan, minyak, gas, dan hasil bumi lainnya. Pendapatan besar dari sektor ini dikembalikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, bukan masuk ke kantong segelintir elit.
Selain soal pembiayaan, sistem pendidikan Islam juga memiliki arah yang jelas. Tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak tenaga kerja, melainkan membentuk manusia berilmu dan bertakwa. Kurikulum dirancang berdasarkan aqidah Islam yang menghubungkan ilmu dengan keimanan. Dengan paradigma ini, lahirlah generasi ulama sekaligus ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Biruni, yang tidak hanya menguasai ilmu duniawi, tetapi juga menjadikannya sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Itulah wujud pendidikan sejati yang melahirkan peradaban unggul.
Maka, solusi bagi krisis pendidikan bukanlah menambah sekolah dengan embel-embel “rakyat”, melainkan mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Islam kaffah. Islam menempatkan pendidikan sebagai pilar utama peradaban, bukan proyek politik. Dalam sistem Islam, setiap anak dididik untuk menjadi insan yang beriman, berilmu, dan bertanggung jawab. Pendidikan bukan hanya alat untuk mencari pekerjaan, tetapi jalan untuk memahami kehidupan dan menjalankan amanah sebagai hamba Allah.
Sekolah Rakyat mungkin mampu memperluas akses pendidikan dalam jangka pendek, tetapi ia tidak akan mampu memperbaiki kualitas manusia jika tetap dijalankan dalam sistem sekuler yang memisahkan ilmu dari iman. Selama paradigma kapitalistik masih menjadi dasar pengelolaan negara, pendidikan akan terus menjadi ajang proyek dan pencitraan. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, pendidikan akan kembali menjadi cahaya yang menerangi kehidupan umat, membangkitkan kesadaran, dan mengantarkan manusia menuju kebangkitan hakiki di bawah naungan ridha Allah ﷻ.
Komentar
Posting Komentar