Sesat Pikir Tata Kelola Zakat di Sistem Demokrasi

Oleh Lika Rosliana


'Bagai raksasa yang tengah tertidur', potensi zakat yang besar di Kabupaten Bandung dengan 3.7 juta penduduk yang 96% nya adalah muslim memang patut untuk 'dibangunkan'. Tak ayal, Asisten Perekonomian dan Kesejahteraan Pemkab Bandung, Marlan di laman media daring ayobandung.com menyampaikan bahwa potensi zakat bagi muzaki di Kabupaten Bandung akan kembali digaungkan dan dimaksimalkan melalui program sejuta muzaki. Program ini adalah upaya untuk membangun ekonomi umat sekaligus langkah yang digadang-gadang bisa mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan Kabupaten Bandung yang religius sekaligus meningkatkan kesejahteraan umat.
Mulai dari ranah pemerintah pusat, orientasi pengelolaan zakat ini memang sudah salah kaprah. Pasalnya, Indonesia sangat mengandalkan iuran wajib (dalam bentuk pajak) dari seluruh rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan belanja negara (APBN). Meskipun kisaran penerimaan pajak sudah berada di angka 72.86% dari total APBN pada tahun 2018, yaitu sebesar 1618.1 T dari APBN 2220.7 T, potensi zakat mulai dilirik untuk memenuhi kekurangan anggaran belanja negara. Di sisi lain, sejak tahun 2010 wacana 'pemaksaan' pemungutan zakat  mulai digaungkan melalui penekanan berdasarkan firman Allah surat at Taubah ayat 103 maupun regulasi perundang-undangan oleh pemerintah-yang dalam sistem demokrasi memiliki otoritas. Zakat sangat diharapkan dapat menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari fakta di atas, dapat dilihat sebagaian besar yang membiayai negara ini adalah rakyatnya sendiri. Namun di sisi lain, Indonesia yang kaya dengan sumber daya alamnya, yang seharusnya bisa dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat malah diserahkan kepada pihak swasta asing, seperti halnya freeport di Papua.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan Islam, dalam Islam zakat memang salah satu sumber penerimaan negara. Namun, dalam pengalokasiannya dana zakat hanya terbatas digunakan untuk delapan asnaf seperti yang ditentukan oleh firman Allah dalam surah At-Taubat:60. Sedangkan untuk pembiayaan pengeluaran Negara lainnya dapat dipenuhi dari sumber-sumber penerimaan negara dari non-zakat. Sumber-sumber penerimaan dari non-zakat tersebut diantaranya adalah kharaj, jizyah, fay, khums dan lain-lain. Secara garis besar pendapatan negara dalam Islam adalah Ghanimah (pendapatan negara dari kemenangan perang) dan khumus, Kharaj(biaya sewa tanah dan lahan milik negara), Fai (harta rampasan), Jizyah (hak muslim dari orang kafir yang tunduk pada islam) dan tebusan tawanan perang. Selain itu, ada Zakat, infaq, waqaf dan sedekah yang merupakan kelompok mekanisme distribusi harta yang sifatnya non-ekonomi.
Dari pemaparan di atas,  keliru dan sesat pikir jika menjadikan zakat sebagai sumber dana untuk membangun ekonomi umat karena tidak sesuai tuntunan syariah. Negara seharusnya bisa mengelola sumber daya alam secara maksimal sebagai sumber pendapatan negara untuk mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakatnya.

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter