Ilusi Kerukunan Beragama di Sistem Demokrasi

Oleh Restu Febriani


Berdasarkan informasi yang diperoleh Republika.co.id perusakan mushala terjadi pada Rabu (29/1) sore tepatnya pukul 17.48 Wita. Perusakan mushala bermula saat sekitar 50 orang dari organisasi kemasyarakatan Waraney yang diketuai Novita Malonda dari Desa Tumalutung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara mendatangi  Mushala Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Desa Tumalutung, datang ke mushala tersebut.

Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Tengku Zulkarnain menanggapi pengrusakan musala di Minahasa Utara dan Sumaetra Utara (Sumut). Masjid di Sumut, tepatnya di Jalan Belibis, Kelurahan Tegal Sari Mandala II, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dilempari batu pada Jumat malam (26/1) lalu. Sedangkan musala di Perumahan Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara dirusak puluhan massa pada Rabu malam (29/1/2020). (pojoksatu.id)

Aksi tersebut memicu reaksi keras umat Islam, terkhusus warga muslim Sulut (Sulawesi Utara) yang makin tersulut amarahnya ketika mengetahui insiden tersebut. Ribuan umat Islam berdatangan ke Masjid Al Hidayah. Tak hanya dari kota-kota sekitar Sulut, tapi juga dari Poso, Sulawesi Tengah dan beberapa kota lainnya di Sulawesi. (indopolitika.com)

Terkait peristiwa ini, polisi sudah mengamankan ketua ormas tersebut yang diduga sebagai otak perusakan mushala di Perumahan Agape tersebut. Aksi massa ini dilakukan pada Rabu (29/1).

Menteri Agama Fachrul Razi memberi tanggapan terkait kasus perusakan tempat ibadah tersebut. Dilansir dari idtoday.co -Fachrul menyatakan, perusakan tempat ibadah memiliki rasio yang sangat kecil dibanding dengan jumlah tempat ibadah di Indonesia.

"Sebetulnya kasus yang ada, kita bandingkan lah ya, rumah ibadah di Indonesia ada berapa juta sih? Kalau ada kasus 1-2 itu kan sangat kecil," kata Fachrul di Kota Bogor, Kamis (30/1). Pernyataan sikap dari pemerintah kalangan menteri itu memicu polemik wabil khusus umat muslim yang seolah-olah ini adalah kasus yang tak perlu diributkan dan diperpanjang.

Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Brigjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo tentu geram dengan pernyataan tersebut dan dia menilai apa yang dikatakan Fachru tidak tepat. Kata dia, komentar semacam itu bertolak belakang dengan semangat pemerintah yang menggaungkan untuk membangun radikalisme. "Nggak pantas Menag bicara seperti itu, katanya mau libas radikalisme. Lha kasus Minahasa ini adalah "the real radicalsm"," ujarnya pada Sabtu (1/2).

Pengurus MUI Pusat ini menyebutkan, bahwa Fachrul sebagai menteri agama harus bisa menyejukkan suasana. Bukan malah memantik percikan radikalisme menjadi semakin besar. "Karena itu, sekecil apapun percikan api radikal intoleran harus dipadamkan .Jangan malah dikompori dengan kata-kata konyol."

Banyaknya kasus perusakan rumah ibadah adalah bukti masih lemahnya pembangunan kerukunan beragama. Padahal yang selalu menjadi tagline pemerintah dan pendukungnya adalah toleransi beragama. Tapi malah mereka yang melanggarnya.

Indonesia memiliki catatan panjang mengenai kebebasan mendirikan dan memiliki rumah ibadah, khususnya bagi umat agama minoritas. Imparsial mencatat ada 31 kasus pelanggaran terhadap hak KKB di Indonesia dalam setahun terakhir. Sebanyak 11 di antaranya merupakan perusakan terhadap rumah ibadah.

Inilah hasil dari penerapan sistem demokrasi yang lebih berkonsentrasi menegakkan pembelaan berlebih terhadap warga minoritas, justru berpotensi memunculkan tirani minoritas dalam sikap beragama ini atas dasar sekulerisasi.

Sedangkan Islam telah membuktikan selama 14 abad lamanya berhasil menciptakan kerukunan beragama. Kaum Muslim dengan beragam suku-bangsa hidup rukun dan damai hampir selama 14 abad dalam satu kepemimpinan seorang khalifah. Wilayah kekuasaan Khilafah Islam yang terbentang dari Afrika sampai Asia berhasil menata persatuan dan kerukunan antarumat manusia. Persatuan dan kerukunan itu diawali dengan persatuan dan kerukunan kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah.

Belasan abad silam, Islam telah menghapuskan dan mengharamkan seseorang membanggakan asal-muasal keluarganya dan suku bangsanya. Ubay bin Kaab ra. pernah mendengar seorang pria berkata, “Hai keluarga fulan!” Lalu Ubay berkata kepada dia, “Gigitlah kemaluan bapakmu!” Ubay mencela dia terang-terangan tanpa memakai bahasa kiasan. 

Orang itu berkata kepada Ubay, “Wahai Abul Mundzir (Abu Ubay), engkau bukanlah orang yang suka berkata keji.” Ubay berkata kepada dia, “Sungguh aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Siapa saja yang berbangga-bangga dengan slogan-slogan Jahiliah maka suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya…’” (HR Ahmad).

Kaum Muslim di bawah naungan Khilafah Islam juga berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah-tengah umat manusia. Maka dengan melihat fakta yang terjadi hari ini tentu kita sebagai kaum muslim yang beraqidah Islam kembali menawarkan solusi akan keberhasilan sistem Khilafah yang mewujudkan kerukunan hakiki dan harmonisasi beragama karena diterapkannya aturan Ilahi Robbi.

Wallahu ‘alam bisshawab

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter