JHT: Bentuk Kedzholiman dan Eksploitasi Buruh
Oleh Nena Fatimah (Aktivis Muslimah Kab. Bandung)
Aturan baru pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru
bisa dicairkan ketika buruh berusia 56 tahun ditolak keras para buruh. Pasalnya
JHT yang merupakan tabungan para buruh itu merupakan iuran yang dipotong dari
upah buruh dan disetorkan ke Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelola
dana buruh. Dalam artian JHT adalah milik buruh. Harta buruh. Namun dengan
peraturan ini hak sendiri justru baru bisa diambil ketika berusia 56 tahun.
Protes atas keputusan ini juga disuarakan oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh
Indonesia (KASBI) yang menilai bahwa keputusan Menteri Ketenagakerjaan yang
memutuskan JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun, sama sekali tidak memudahkan
rakyat (Kumparan.com 13/02/22).
Kebijakan yang Dzholim
JHT adalah tabungan buruh dan menjadi dana penting para buruh setelah mereka
berhenti bekerja atau mengundurkan diri. Juga bisa menjadi dana darurat saat
mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Dana JHT juga bisa menjadi penopang
kehidupan para buruh saat gaji pokok mereka tidak cukup membuat sejahtera di masa
tua.
Namun kini, dengan adanya Permenaker ini buruh harus kembali terdhzolimi karena
pencairan JHT baru bisa dilakukan di usia 56 tahun. Keputusan ini amat
disayangkan, karena JHT sendiri adalah bagian dari harta pekerja. Tapi justru
kenapa mengambil harta sendiri jadi begitu sulit. Bahkan ditempo harus beberapa
tahun. Sungguh miris di saat kesejahteraan para buruh tidak didapat, kebutuhan
dasar tidak dijamin oleh negara kini kebijakan tidak pro rakyat justru
digulingkan.
Negara harusnya membuka mata akan kedzholiman ini. Kondisi ekonomi Indonesia
sudah sangat sulit terlebih amat dirasakan para buruh. Belum lagi gelombang PHK
para buruh di berbagai wilayah, di berbagai pabrik dan tempat. Sejak pandemi
gelombang PHK ini semakin luas dan mengakibatkan semakin banyak pengangguran.
Bahkan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sendiri mencatat hingga awal
Agustus 2021, lebih dari 500 ribu pekerja kehilangan
pekerjaan karena diberhentikan.
Dari data Kemnaker diketahui, per tanggal 7 Agustus, pekerja yang di-PHK
tercatat mencapai 538.305 orang.
Kemnaker juga menuturkan sampai 7 Agustus 2021 lalu sebanyak 538.305 pekerja
sudah mengeklaim Jaminan Hari Tua (JHT) berarti sudah terkena PHK dan
menghitung dari jumlah pekerja yang sudah mengklaim JHT-nya, Kemnaker bahkan
memproyeksikan sampai akhir tahun 2021, sebanyak 894.579 pekerja bisa terkena
PHK (Kompas.tv 16/08/21).
Negara harusnya memahami betapa berartinya JHT ini bagi pekerja. Terlebih
mereka berbondong mengklaim JHT setelah di-PHK. Jika JHT bisa dicairkan di usia
56 tahun maka Ketika mereka di-PHK di usia muda bagaimana mereka bisa membayar
iuran JHT lagi? Dan bagaimana sulitnya beban yang ditanggung pekerja pasca PHK?
Maka dana JHT ini sangat penting karena bisa menjadi penopang hidup hingga
digunakan untuk modal usaha pasca PHK. Negara harus melihat banyaknya pekerja
yang kehilangan pekerjaan di masa pandemi ini. Lalu di mana letak urgensi dan
esensi dari aturan menker ini? Aturan ini justru sangat menyakiti hati buruh
dan menjauhkan mereka dari hak mereka.
Bentuk Nyata Eksploitasi Buruh
Eksploitasi buruh memang bukan lagi rahasia. Baik oleh tempat mereka bekerja
hingga kini oleh negara. Para buruh yang merupakan tulangpunggung produksi,
penggerak roda ekonomi terus diekploitasi hampir setiap hari. Keringat mereka
diperas kala muda tapi negara justru abai menjamin kebutuhan masa tua mereka.
Bahkan saat mereka memprotes kebijakan dzholim JHT ini negara tetep
"keukeh" mempertahankannya. Nampak sekali bahwa kebijakan ini bukan
untuk kebaikan para buruh. Padahal kewajiban negaralah membuat kebijakan yang
menguntungkan rakyat bukan justru membuntungkan.
Islam Menjamin Hak Buruh
Islam adalah agama dan ideologi yang paripurna. Mulia dan memuliakan manusia
tanpa memandang status sosial, ras, hingga wilayah. Maka tidak heran jika Islam
selalu memiliki solusia atas berbagai permasalahan. Termasuk bagaimana Islam
mengatur agar buruh terpenuhi haknya, tidak dieskploitasi dan dijamin
kesejahteraannya. Islam juga mengharuskan untuk menunaikan hak pekerja.
عن أبي هريرة رضي الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم ، قال : ” قال الله : ثلاثة
أنا خصمهم يوم القيامة : رجل أعطى بي ثم غدر ، ورجل باع حرا فأكل ثمنه ، ورجل استأجر
أجيرا فاستوفى منه ولم يعط أجره
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama
bersabda: Allah SWT berfirman, “Tiga orang yang pasti Aku musuhi pada hari
kiamat kelak, Pertama, orang yang mengikat janji dengan orang lain atas namaKu,
lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang melakukan perdagangan manusia (Human
trafficking), lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya. Ketiga, orang yang
mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, namun
upahnya tidak diberikan (HR Bukhari 2135).
Dari hadis di atas jelaslah siapa yang tidak memberikan hak pekerja berupa
upahnya setelah pekerja tersebut selesai melakukan pekerjaannya maka ia
dimusuhi oleh Allah SWT. Ini juga menerangkan kepada kaum muslimin bahwa hak
siapapun harus segera ditunaikan. Upah adalah hak bagi pekerja. Begitupula JHT
yang merupakan dana yang dipotong dari upah buruh merupakan hak buruh. Maka
kapanpun ia butuh dan ingin mengambil sudah seharusnyalah dimudahkan dan
disegerakan.
Pemahaman dan ketaatan penguasa pada Allah SWT akan mendorong mereka takut
untuk mendzholimi pekerja di negeri mereka. Dalam sistem Islam negara menjadi
penanggung jawab utama tertunainya hak-hak para pekerja. Ketidakadilan,
kedzholiman atau eksploitasi terhadap buruh sangat dilarang dalam Islam. Maka
siapapun yang melakukannya akan ditegur hingga disanksi oleh negara. Negara
sendiri akan menjauhi kebijakan-kebijakan yang tidak pro pekerja.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa dalam daulah Islam adalah
kebijakan berdasarkan nash syara yang mulia. Sehingga tidak ada kebijakan yang
condong mementingkan suatu pihak dan mendzholimi pihak lain.
Kebijakan yang bersumber dari nash syara akan mementingkan terjaminnya
kebutuhan rakyat baik di masa muda maupun di masa tua. Kebutuhan pokok hingga
kesehatan dan pendidikan semua diperhatikan oleh negara. Negara tidak akan merampas
milik rakyat maupun menahan hak mereka. Tetapi negara Islam menjadi pelindung
utama bagi para pekerja.
Ini dicontohkan oleh Khalifah Al-Mansur beliau adalah khalifah pada masa
Abbasiyah yang membangun kota Baghdad dan berhasil membuka lapangan pekerjaan
dengan menyerap 100 ribu pekerja. Proyek besar ini murni didanai oleh pos-pos
pemasukan negara yang syar'i atau halal seperti ghanimah, kharaj, fai dll tanpa
hutang luar negeri kepada asing atau dengan pendapatan yang haram.
Dengan proyek prestisius tersebut khalifah membuka lapangan pekerjaan yang
besar dengan tenaga kerja dalam negeri. Sehingga pekerja mendapatkan pekerjaan
di dalam negeri dengan mudah. Di sisi lain gaji para buruh juga sangat layak.
Tidak dipukul rata dengan upah minimum. Tetapi setiap buruh dinilai dengan dua
aspek yakni jam kerja dan keahliannya. Semakin tinggi jam kerja semakin tinggi
ia digaji. Semakin ahli juga semakin tinggi digaji. Sehingga buruh tidak merasa
terdzholimi.
Di dalam Islam negara juga merupakan pengurus rakyat. Maka buruh yang merupakan
rakyat daulah Islam wajib dipenuhi kebutuhan mereka, kesehatan, keamanan hingga
pendidikan anak-anak mereka dijamin oleh negara Islam.
Maka sudah saatnya kaum muslimin memilih Islam sebagai solusi atas permasalahan
buruh hari ini bukan pada sistem kapitalis sekuler yang mendzholimi buruh.
Wallahu'alam bisshowab.
Komentar
Posting Komentar