MITIGASI BENCANA DALAM SISTEM ISLAM


Oleh Iin Indrawati

Kabupaten Bandung diguncang gempa sebanyak tiga kali. Gempa mengguncang wilayah Kabupaten Bandung pada Kamis, 5 September dan Rabu, 18 September 2024. Gempa bumi pertama berkekuatan 2,8 magnitudo, gempa bumi kedua berkekuatan 3,1 magnitudo, dan gempa bumi ketiga berkekuatan 5,0 magnitudo. Dampak gempa bumi ini dirasakan di Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Kertasari, Kecamatan Cimaung, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung (detikjabar.com).

Hampir seluruh wilayah di Indonesia terkena risiko bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran, letusan gunung api, cuaca dan gelombang ekstrem, kekeringan, serta likuefaksi. Distribusi gempa di Indonesia sangatlah banyak. Hal tersebut dipengaruhi oleh lokasi geografis Indonesia yang berada di pertemuan tiga lempeng besar dunia dan terletak di daerah tektonik yang aktif.

Penting untuk kita ketahui, gempa bumi adalah fenomena berbahaya. Secara umum, generator gempa bumi adalah adanya sesar dan subduksi. Sesar adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang mengakibatkan pergeseran batuan. Makin besar bidang pergeserannya, makin besar magnitudo gempanya. Sedangkan subduksi adalah perbenturan zona bumi. Pada subduksi, semakin menunjam, semakin besar magnitudo gempanya.

Negara seolah tidak peka mengantisipasi atau salah fokus dalam tataran pencegahan, sehingga baru bergerak ketika bencana sudah terjadi. Akan tetapi, bencana pun sering terjadi akibat kelalaian ekologis manusia sendiri. Kelalaian dalam manajemen lingkungan hidup menjadi awal munculnya banyak bencana. Selain itu, dalam mencegah dan menanggulangi bencana, perlu adanya solusi permanen yang tidak terbatas pada pembangunan infrastruktur fisik pencegah bencana.

Walaupun Indonesia sudah mengesahkan UU Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (6) PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, realitasnya, upaya penerapannya masih lemah. Lemahnya implementasi mitigasi bencana ini akan memperburuk dampak dari bencana, mengingat posisi Indonesia rawan bencana gempa.

Gempa adalah suatu fenomena yang tidak bisa kita hindari dan belum ada teknologi yang memadai di Indonesia untuk menghindarkan kita dari bahayanya. Padahal, Indonesia berada di lokasi tektonik aktif, memiliki zona subduksi dan sesar yang bisa menimbulkan gempa bumi.

Oleh karena itu, sebelum gempa bumi terjadi, semestinya ada pelaksanaan mitigasi. Mitigasi adalah upaya mengurangi risiko bencana, baik lewat pembangunan fisik ataupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi bencana.

Menurut para ahli, sebenarnya gempa bumi tidak akan langsung menimbulkan korban jiwa. Namun, bangunan yang retak atau rusak akibat guncangan gempa hingga jatuh menimpa tubuh seseoranglah yang akan menyebabkan adanya korban jiwa saat bencana itu terjadi. Jadi, yang harus dilakukan adalah upaya mitigasinya, mulai dari penguatan standar bangunan, jalur evakuasi, jalur air untuk antisipasi kebakaran pasca gempa, hingga waktu pemulihan infrastruktur dasar dengan hitungan pasti.

Untuk fase prabencana (mitigasi dan kesiapsiagaan), pemerintah harus membuat dan memastikan aturan tentang standar bangunan, tata ruang, dan edukasi yang berjalan dengan baik. Perencanaan gedung atau bangunan di kawasan rawan gempa pun diperlukan supaya ketika bencana gempa itu terjadi, tidak ada, atau bisa meminimalisasi korban jiwa yang berjatuhan akibat tertimpa bahan bangunan yang retak akibat guncangan gempa.

Namun, proses penanganan bencana di Indonesia salah satunya mengalami kendala anggaran di berbagai jenis dan skala bencana, khususnya bencana alam. Skala prioritas anggaran negara juga dipertanyakan. Pembiayaan untuk berbagai proyek dan agenda tidak terlalu tepat sasaran, sebagaimana masifnya pembangunan infrastruktur, tetapi kurang melalui studi komprehensif. Sebagai contoh, pembangunan proyek bandara, kereta api cepat, dan perpindahan ibu kota negara yang tentu menghabiskan biaya yang sangat besar.

Sedangkan di dalam Islam, Khilafah menjadi negara penerap syariat Islam yang memiliki strategi dalam penanganan bencana. Bencana alam selalu diantisipasi lebih awal dengan ikhtiar. Pemerintah dalam Khilafah memperhatikan fasilitas umum yang dapat melindungi rakyat dari berbagai jenis bencana dengan sungguh-sungguh. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, membangun bangunan yang tahan terhadap bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga mengedukasi masyarakat untuk selalu siap dalam keadaan darurat.

Mitigasi ini membutuhkan pengelolaan yang benar serta bebas dari motif kepentingan pribadi seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini. Landasannya adalah firman Allah, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi (Q.S. Al-A’araf ayat 96-99).

Ini artinya, mereka yang ahli maksiat akan menganggapnya hanya peristiwa alam saja. Padahal peristiwa ini terjadi agar manusia, setelah merasakan dampak dari perbuatan maksiatnya, akan kembali kepada jalan Allah, taat kepada Allah, menerapkan syariat Allah, dan memegang teguh hukum-hukum Allah secara kafah. Itulah yang akan bisa menyelamatkan kita. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter