Pejabat Penjual SDA : Ironi Negeri dan Amanah Rakyat yang Teringkari
Oleh Lika Rosliana
Kayanya Indonesia memang godaan luar
biasa bagi para pemangku kebijakan. Di tengah tawaran-tawaran nakal yang
mencoba menggadai integritas dan loyalitas para pejabat negara, ada saja yang
dengan mudahnya terjerat iming-iming rupiah demi memuluskan sejumlah perizinan sumber
daya alam (SDA) atau bahkan menjualnya dengan murah kepada korporasi.
Seperti yang dikutip di beberapa
laman berita media elektronik, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Laode Syarif menyoroti fakta banyaknya sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang
diperjualbelikan dengan murah oleh para pejabat. KPK menyodorkan sejumlah kasus
yang ditanganinya terkait pengelolaan SDA yang menjerat 20 pejabat di sektor
kehutanan. Salah satunya, perkara mantan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar
dengan total kerugian negara Rp1,2 triliun. Contoh lainnya juga disampaikan
Laode atas perkara korupsi yang melibatkan Anggota DPR Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) Al Amin Nasution yang mengeluarkan izin lebih dari 100 ribu
hektare hutan di Kalimantan Timur. Dan juga kasus eks Bupati Buol Amran
Abdullah Batalipu yang memberikan izin perkebunan kepada Siti Hartati Murdaya
selaku Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) atau PT Cipta Cakra Murdaya
(CCM).
Layaknya fenomena gunung es,
fakta-fakta di atas hanyalah sejumlah kecil kasus yang baru tertangani dan
tertangkap oleh KPK. Di luar itu masih memungkinkan jumlahnya bisa lebih besar.
Selain itu, hukuman pidana yang diterima terdakwa kasus ini dinilai tidak
menimbulkan efek jera sehingga menyuburkan praktik yang sama terjadi di
kemudian hari. Seperti yang ditegaskan wakil ketua KPK Laode Syarif, hukuman
bagi mantan anggota DPR RI Al Amin Nasution hanya divonis empat tahun penjara,
padahal mengeluarkan izin lebih dari 100.000 hektare hutan di Kalimantan Timur.
Kasus lain yaitu Siti Hartati hanya divonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda
Rp150 juta. Padahal seharusnya, Siti Hartati bisa diberikan hukuman maksimal
lima tahun penjara dan denda maksimum Rp 1 miliar atas kasus pemberian suap
perijinan perkebunan selaku Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) atau PT
Cipta Cakra Murdaya (CCM).
Melihat
fakta-fakta di atas, temuan KPK terhadap 20 pejabat yang terjerat kasus korupsi
jual beli SDA bukanlah hal asing bagi Indonesia. Sudah sejak lama, Indonesia
menjadi objek rebutan para pejabat negara yang beralih profesi sebagai
‘makelar’ penjualan aset milik umat. Hal ini menjadi fenomena yang lumrah
mengingat ongkos politik di sistem demokrasi untuk mengantarkan pada tampuk
kekuasaan memang mahal. Sehingga, ketika jabatan sudah di tangan, maka itulah
kesempatan untuk mengembalikan modal dan balas budi politik kepada korporasi
atau pihak yang menyokong ongkos politik saat pemilu. Ketika sudah seperti ini,
maka bisa dilihat kepentingan siapakah yang akan dibawa oleh pejabat dalam
pemerintahannya. Apakah kepentingan umat? Jelas tidak.
Fenomena
korupsi dan jual beli SDA juga merupakan kelumrahan dalam negara yang menerapkan
sistem ekonomi kapitalisme. Dimana asas yang diberlakukan adalah sekularisme
(pemisahan agama dari kehidupan), dan standar perbuatannya adalah manfaat dan
liberalisme (kebebasan), termasuk liberalisme dalam aspek kepemilikan. Inilah seyogyanya
yang menjadi pangkal kerusakan dan penyebab sulitnya mewujudkan kesejahteraan
di tengah-tengah umat.
Korupsi
sumber daya alam (SDA) dan penjualan aset umat hakikatnya bukan hanya soal
kerugian nilai keuangan negara, melainkan kegagalan pengelolaan SDA untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam Islam, sumberdaya alam ditetapkan sebagai milik umat.
Haram bagi siapapun untuk memiliki apalagi menjualnya kepada asing. Negara
justru diwajibkan mengelolanya semata-mata demi kepentingan umat. Saatnya umat
kembali kepada sistem islam dengan berjuang bersama mewujudkannya dengan dakwah
sesuai manhaj Rasulullah saw.
Komentar
Posting Komentar