Islam dalam Menyikapi Kebijakan New Normal
Baru-baru ini pemerintah telah merilis akan menerapkan tatanan normal
baru untuk para pekerja ASN, BUMN, dan perusahaan. Menurut Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Tjahjo Kumolo
beliau berharap seluruh ASN dapat beradaptasi dengan perubahan tatanan hidup
pada situasi pandemi Covid-19 ini. Kebijakan ini tertuang dalam surat edaran
menteri PANRB no.58/2020 tentang sistem kerja ASN dalam tatanan ekonomi baru.
Surat edaran tersebut memuat penyesuaian sistem kerja bagi ASN untuk menjaga
keberlangsungan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan publik, untuk menyongsong tatanan normal baru yang produktif dan
aman dari Covid-19.
Menjelang pemberlakuan
normal baru di Indonesia, elemen masyarakat menyuarakan kritik. Apalagi kurva
kasus positif corona di Indonesia masih menanjak terus. Berdasarkan laporan
harian kasus di Indonesia pada tanggal 28 Mei 2020, terdapat penambahan 687
kasus sehingga totalnya 24.538 orang positif sejak kasus pertama pada 2 Maret
2020. Sedangkan jumlah pasien sembuh sebanyak 6.240 orang dan meninggal 1.496
orang.
Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTNFHUI) menilai, pemerintah
terlalu memaksakan penerapan tatanan kenormalan baru (New Normal).
Menurut ketua PSHTNFHUI, Mustafa Fakhri mengatakan pemerintah tidak memiliki
kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19. Karena,
kenornalan baru dapat disusun dan diterapkan pemerintah ketika tidak ada lagi
penambahan kasus positif baru Covid-19. Itupun dengan catatan penerapan
kenormalan baru harus dilakukan dengan hati-hati. Seperti contoh kebijakan
kenormalan baru di Korea Selatan yang melahirkan gelombang baru Covid-19. Ketika
normal baru diterapkan, ribuan orang terkena Covid-19 dan harus langsung
isolasi mandiri.
Dalam menyikapi istilah
normal baru (New Normal), baik dalam teks maupun konteksnya, Islam harus
hati-hati. Bahkan harus mempunyai kemampuan untuk memahami New Normal. Menuju
New Normal harus dimulai dari pemahaman yang normal. Ketika melihat
situasi objektif seperti saat ini yang belum normal, masih memerlukan tahapan
yang harus terukur. Sehingga, kita tidak terjebak dengan diksi yang justru
membuat umat bingung. Kebijakan New Normal harus memastikan terlebih
dahulu lima hal, yaitu: Pertama, transisi Covid-19 sudah terkendali sehingga
angka terinfeksi semakin menurun. Kedua, kapasitas sistem kesehatan sudah mampu
mengidentifikasi dan melakukan Test Trace dan Treat. Ketiga,
mengurangi risiko wabah dengan pengaturan yang ketat pada tempat rentan dan
komunitas rentan seperti lansia, kesehatan mental, dan pemukiman padat.
Keempat, pencegahan di tempat kerja dengan menerapkan protokol medis yang
ketat. Kelima, masyarakat mempunyai kesadaran kolektif untuk ikut berperan dan
terlibat dalam melaksanakan protokol medis.
Oleh karena itu, dalam
aspek ajaran Islam menekankan kepada pencegahan melalui konsep bersuci (thaharah).
Allah mencintai hamba-Nya yang menyucikan diri. Karena bersuci merupakan bagian
dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan diri yang mencakup
lahir dan batin. Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 222 yang
artinya, “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.” Dan umat Islam akan terdorong untuk
selalu melaksanakan tindakan yang normal dan bermanfaat bagi orang lain.
Perbuatan yang normal menjadi awal bangkitnya sebuah masyarakat dan bangsa.
Komentar
Posting Komentar