Kemerdekaan untuk Siapa?
Setelah 78 tahun merdeka dari penjajahan fisik, miris bahwa Indonesia masih terjerat utang yang mencekik. Pada bulan April, Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah adalah Rp7.849,89 triliun. Artinya, setiap warga Indonesia menanggung utang negara sebesar Rp28 juta. Apalagi menurut anggota Komisi XI DPR Misbakhun, utang pemerintah sebenarnya lebih dari Rp20.000 triliun.
Prihatinnya lagi, dengan utang sebanyak itu nikmat hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mengatur tentang posisi dan hak-hak muslimah pada khususnya, dan perempuan pada umumnya, hanya dapat dimanifestasikan secara praktis ketika syariat Islam dipakai di negeri ini.
Ketidakadilan juga terjadi dalam kepemilikan lahan di tanah air. Pada tahun 2022, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, tercatat 68 persen tanah di Indonesia dikuasai 1 persen kelompok pengusaha dan korporasi besar. Dengan ketimpangan seperti ini tidak aneh jika World Bank melaporkan bahwa 40 persen warga Indonesia terkategori miskin.
Dampak kemiskinan itu banyak. Ada 1,9 juta lulusan SMA yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena tingginya biaya pendidikan. Ada 17 juta warga Indonesia terpapar gizi buruk yang merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara. Ada 81 juta warga milenial tidak memiliki rumah. Ada 14 juta warga menempati hunian tidak layak huni. Jutaan rakyat Indonesia juga terbelit utang pinjol hingga puluhan triliun rupiah. Bahkan sudah terjadi kasus bunuh diri dan pembunuhan akibat riba pinjol.
Sementara itu sumber daya alam yang harusnya bisa menyejahterakan rakyat justru banyak dikuasai korporasi lokal, asing, dan aseng. Contohnya smelter nikel di Tanah Air justru banyak dikuasai perusahaan asal Cina yang membeli murah bijih nikel dari perusahaan pribumi. Mereka juga mendapatkan tax holiday dari pemerintah selama 30 tahun. Diperkirakan Indonesia tekor Rp32 triliun dari investasi smelter nikel asal Cina. Itu belum termasuk kerugian atas rusaknya alam dan lingkungan di sekitar smelter nikel.
Pelanggaran hukum dan ketidakadilan justru seperti dibiarkan oleh penguasa. Tewasnya 135 warga di stadion Kanjuruhan Malang sampai hari ini tidak mendapatkan keadilan. Bahkan Presiden Jokowi menyalahkan kondisi stadion yang tidak layak pakai. Pengadilan juga memutuskan aparat tidak bersalah karena kondisi itu.
Mungkin ada orang yang menyatakan bahwa jika seorang muslim terus-menerus mencari kekurangan dalam perjalanan kemerdekaan negara ini, maka itu adalah tanda kufur nikmat. Padahal Allah SWT telah memerintahkan setiap hamba mensyukuri nikmat-Nya dan melarang kufur nikmat. Allah SWT berfirman:
“(Ingatlah) saat Tuhan kalian memaklumkan, ‘Sungguh jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) untuk kalian. Namun, jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), pasti azab-Ku sangat berat’” (TQS Ibrahim [14]: 7).
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Jarir Ath-Thabari menjelaskan makna bersyukur: “Jika kalian bersyukur kepada Tuhan kalian, dengan ketaatan kalian kepada-Nya dalam hal yang Dia perintahkan kepada kalian dan yang Dia larang kepada kalian, niscaya ditambahkan untuk kalian apa yang ada pada tangan-Nya dan nikmat-Nya atas kalian.”
Akibat bangsa ini tidak mensyukuri kemerdekaan dengan ketaatan kepada Allah, dengan cara melaksanakan semua aturan-Nya, maka yang terjadi adalah sebaliknya, Allah menimpakan berbagai bencana karena mereka kufur nikmat, yakni tidak menggunakan semua nikmat itu di jalan-Nya. Allah SWT berfirman:
“Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram. Rezekinya datang kepada mereka melimpah ruah dari segenap tempat. Namun, (penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan karena dosa-dosa yang selalu mereka perbuat” (TQS an-Nahl [16]: 112).
Semua bencana hari ini terjadi akibat umat justru menjauhkan hukum-hukum Allah dari kehidupan. Mereka malah mengambil hukum-hukum buatan manusia yang terbukti rusak. Wallahualam bishowab.
.png)
Komentar
Posting Komentar