Mantan Terpidana, Pantaskah Jadi Calon Legislatif?
Oleh : Damayanti
Pemilihan umum di Indonesia dijadikan sebagai ajang pesta demokrasi. Partai politik dapat mencalonkan orang-orang pilihannya, termasuk mantan pidana korupsi.
Menurut Indonesia watch (ICW),pada tanggal 19 agustus 2023 yang lalu dikabarkan bakal caleg legislatif yang diumumkan oleh komisi pemilihan umum(KPU),ternyata telah terdapat setidaknya 12 nama mantan terpudana korupsi dalam daftar calon sementara (Voa Indonesia .com)
Peneliti ICW kurniawan mengatakan, para partai politik masih memberi karpet merah atau kesempatan emas bagi mantan terpidana korupsi. Seakan-akan KPU terkesan menutupi status hukum mereka. Jika mantan narapidana korupsi masih bisa mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dimana kelak apabila terpilih, merekalah yang akan menjadi pemimpin masyarakat. Lantas seperti apakah wajah Indonesia sepanjang 2024-2029?
Dalam Sistem Demokrasi Sekuler saat ini, memang sudah menjadi rahasia umum dimana praktik korupsi sudah merambah dari tingkat desa hingga level negara. Sebut saja pemilihan umum tahun 2019, Sekretariat Kabinet RI telah merilis besaran anggaran pengadaan pemilu serentak tahun itu yakni sebesar Rp. 25,59 triliun yang dialokasikan untuk penyelenggaraan, pengawasan, hingga kegiatan pendukung seperti keamanan. Modal dari Pemilu ini diserahkan kepada para pemilik modal.
Akibatknya, ada timbal balik politik yang harus dibayar oleh si bacaleg atau capres ketika dirinya telah terpilih. Ia pun akan menggunakan semua yang ada di bawah kuasanya untuk bisa mengembalikan mahar politik pinjaman termasuk membuat kebijakan yang memuluskan kepentingan pemilik modal (biasanya pengusaha).
Akhirnya politik transaksional pun tidak dapat dihindarkan dan masyarakatlah korban mutlaknya, sebab penguasa hanya akan fokus pada pengembalian utang saat ajang pesta demokrasi daripada mengurusi hajat hidup masyarakat luas.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, dimana syari’at Islam telah menggariskan bahwa wakil umat adalah individu-individu yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta paham betul apa dan abagaimana menjalankan syariat Islam dalam ranah bernegara.
Syarat iman dan takwa ini mutlak adanya, agar kelak ketika wakil-wakil umat ini terpilih untuk menyambung lidah rakyat, tidak terbersit dalam pikirannya melakukan penyelewengan atau pelanggaran syari’at Islam yang akan mendatangkan murka Allah SWT.
Islam juga telah memiliki mekanisme untuk memberikan hukum yang mampu memberi efek jera seandainya memang ada individu khilaf melakukan pelanggaran syari’at, semisal hukum potong tangan bagi pelaku korupsi dan sanksi sosial yang akan didapat dari hasil hukuman potong tangan tersebut.
Hukum semacam ini walau terkesan mengerikan, pada hakikatnya mampu berperan ganda, yakni berfungsi sebagai pencegah dan penyembuh pelaku maksiat.
Orang akan tercegah dari mencuri apa yang bukan menjadi haknya sebab ia tahu akan dipotong tangganya apabila ketahuan, di sisi lain orang yang sudah bermaksiat juga akan sembuh dan bertaubat karena “bekas” kemaksiatannya terlihat sepanjang ia hidup hingga ajal menjemput.
Hanya syariat islam lah yang akan menjamin pemimpin yang jauh dari kedzaliman dan kemungkaran, Sudah saatnya kita kembali kepada penerapan sistem Islam yang agung setelah melihat dan merasakan segunung kecacatan sistem demokrasi ini. Rakyat hanya akan mengalami kerugian, sementara kekayaan dan kemudahan hidup hanya akan terus diwakilkan oleh para penguasa berselingkuh dengan pengusaha.
Wallahu’alam
.png)
Komentar
Posting Komentar