Normalisasi Sungai Citarum, Ditengah Masyarakat 'Abnormal'
Rengganis Santika A
Mungkin judul diatas terdengar ‘sarkasme’ tapi begitulah fakta yang kita sakisikan dan rasakan. Kondisi Sungai Citarum benar-benar memprihatikan, bahkan mengerikan! Siapa yang salah? Tentu semua ini akibat ulah manusia sendiri. Sungai terpanjang di Jawa Barat tersebut telah tercemar dan rusak. Fitrah manusia sejatinya menyukai keindahan dan kenyamanan, bahkan gambaran surga adalah keberadaan sungai-sungai yang mengalir didalamnya. Mungkin banyak manusia sudah keluar dari fitrahnya alias abnormal, mereka justru dengan sadar dan sengaja merusak Sungai sebagai asset kehidupannya dan keindahan. Sungguh miris sungai Citarum dinobatkan sebagai sungai paling tercemar nomor tiga di dunia, dikutip dari laman Green Matters dan The Eco Expert (detikedu.com). Normalnya Sungai adalah elemen utama dalam sebuah ekosistem, ironisnya kini sungai citarum justru menjadi ancaman bagi masyarakat di sekitarnya, yaitu ancaman kesehatan dan bencana banjir yang kerap terjadi khususnya di kabupaten Bandung. Pemda kini tengah sibuk melakukan normalisasi Sungai Citarum, akankah Sungai Citarum Kembali indah dan normal?
Citarum (Tak Lagi) Harum
Apa kabar Sungai Citarum? Menurut www.ResearchGate, Citarum merupakan sungai utama yang memiliki banyak anak Sungai, yang mengairi dan menghidupi warga Jawa Barat. Sungai ini memiliki fungsi ekologis, ekonomis, dan hidrologis. Posisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dekat dengan pemukiman penduduk dan area industri seperti industri rumah tangga, pertanian, peternakan, dan tekstil. Rusaknya ekosistem DAS Citarum terjadi akibat pembuangan limbah pabrik, sedimentasi, penumpukan sampah, pembukaan lahan tepi sungai, dan kurangnya kepedulian masyarakat. Bencana banjir tak terelakkan, sebagaimana dilansir Liputan6.com, Bandung, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat (Jabar), Bey Machmudin, ketika meninjau banjir di Dayeuhkolot kabupaten Bandung, menyampaikan bahwa tahun 2025 akan dilakukan normalisasi Sungai Citarik , yang merupakan anak Sungai Citarum, untuk mengurangi dampak banjir di Kabupaten Bandung. (Sabtu 25/1/2025).
Proyek ‘Citarum Harum’ yang dicanangkan pemprov Jabar, merupakan proyek untuk menormalisasi Sungai Citarum. Pembiayaan proyek ‘citarum harum’ telah menguras anggaran cukup besar. Dirjen Pembiayaan Infrastruktur PUPR, Dr. Ir.Herry, menyebutkan alokasi anggaran tahun 2023 sebesar Rp1,37 triliun, bersumber dari APBN (58,22%) dan APBD Kabupaten/Kota (36,99%), kemudian sisanya bersumber dari pembiayaan lainnya seperti pinjaman luar negeri.
Dalam sebuah penelitian pada bulan Januari 2025 lalu, di DAS Sungai Citarum desa Rancamanyar, terdapat temuan Sungai ‘mati’ (oxbow), yaitu munculnya badan sungai lama yang tidak teraliri. Permasalahan yang timbul pada oxbow di antaranya genangan air, buruknya sanitasi, pengambilalihan lahan tanpa izin yang berujung konflik sosial. Oleh karena itu normalisasi gencar dilaksanakan di desa Rancamanyar. Realitasnya Citarum tak lagi harum sesuai slogannya, dan memang demikian faktanya bau busuk menyengat timbul dari tumpukan sampah di Citarum. PJ Gubernur Jabar pun menekankan perlunya kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bandung, dan Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (RADARBANDUNG.ID, KAB. BANDUNG, 25/1/2025)
Kapitalisme Sekuler Akar Masalah Masyarakat Abnormal
Solusi permasalahan Sungai Citarum tidak cukup hanya dengan normalisasi Sungai Citarum. Normalisasi lewat pengerukan setiap jelang musim hujan jadi sekedar rutinitas, sebab ujung masalah pendangkalan akan terus terjadi selama material dari erosi di hulu tak tertangani. Sampah pun akan terus menggunung selama Masyarakat minim kepedulian. Namun tak arif bila hanya menyalahkan minimnya kesadaran Masyarakat, sebab pencemaran juga dilakukan para pelaku industri dan para pengusaha yang mendapat izin dari negara. Sementara anggaran habis tanpa Solusi yang efektif, banjir pun terus melanda. Problem kerusakan Sungai citarum adalah problem sistemik, sebab terjadi mulai dari hulu ke hilir secara massif dan melibatkan banyak elemen. Konservasi alam di hulu telah rusak, banyak terjadi alih fungsi lahan secara masiif menjadi perumahan, daerah wisata dan industri oleh para pengusaha, kapitalis, olighart.
Selamat datang di era kapitalisme!! kapitalisme yang berazas manfaat dan menganut ide materialisme, adalah pihak yang paling bertanggung jawa atas timbulnya keserakahan manusia. Orientasi para kapitalis adalah keuntungan materi tak peduli Nasib orang lain. Pembukaan lahan secara ugal-ugalan melabrak tata ruang dan tata wilayah, demi uang dan jabatan. kongkalingkong penguasa dan pengusaha sudah lumrah. Nasib rakyat kecil harus berjuang bertahan hidup autopilot karena tak ada yang mengurus. Mereka hidup dibantaran Sungai. Mental individualisme Masyarakat yang minim kesadaran, berpikir pragmatis, yang penting praktis membuang sampah seenaknya ke sungai padahal itu dosa! Inilah kondisi ‘abnormal’ buah dari pola pikir sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Pahala dan dosa dianggap sekedar teori! Inilah hakekat akar masalah semua problem kehidupan sesungguhnya.
Dalam sekularisme aspek spiritual yaitu keimanan terputus. Tak ada opsi Agama dalam hidup sekuler, semua berdasar alat ukur hawa nafsu, syahwat, yang penting bermanfaat, demi meraih kepuasan materi dan jasadiyah. Tugas negara yang menganut kapitalisme, tak perlu hadir memastikan tiap individu rakyat hidup terjamin. Tegaknya aturan bagi Masyarakat kosong dari pelibatan Allah, sebagai zat yang maha tahu dan sempurna. Hukum diatur manusia yang serba terbatas dan tak adil. Kapitalisme memastikan kebebasan kepemilikan, jangankan Sungai, apalagi daratan atau pulau, lautpun bisa dikapling-kapling, dipagari dikuasai individu demi cuan! Dalam islam lewat banyak jalur periwayatan Rasulullah saw bersabda “Manusia berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput dan api” (HR Ibnu majah). Sungai adalah sumber air milik umum, merusaknya, mencemarinya adalah dosa! Dan negara wajib memastikan fungsi-fungsi dari kepemilikan umum terjaga bagi kemashlahatan umat. Tentu dengan syarat bila negara menerapkan syariat islam secara kaffah (menyeluruh), wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar