Ketika Beras Mahal di Tengah Stok Melimpah: Ujian Moral dan Keadilan Ekonomi


Di berbagai wilayah Indonesia, masyarakat mengeluhkan tingginya harga beras yang terus merangkak naik. Ironisnya, situasi ini terjadi saat stok beras secara nasional dinyatakan melimpah oleh pemerintah dan Bulog. Ketimpangan ini memunculkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya mengendalikan harga, dan siapa yang menanggung akibatnya?


Meskipun stok beras diklaim melimpah, lebih dari 130 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras pada pekan kedua Juni. Harga beras melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi), ini memberatkan rakyat kecil.


Fenomena mahalnya harga beras di tengah ketersediaan stok adalah bentuk ketimpangan sistem distribusi, lemahnya pengawasan, serta potensi permainan pasar oleh spekulan. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga persoalan moral dan keadilan publik.


Kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Akibatnya, suplai beras ke pasar terganggu dan harga naik. Inilah ciri pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme: tidak pro-rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite.


Secara teori, stok melimpah seharusnya menurunkan harga. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Ini menandakan bahwa distribusi tidak berjalan dengan baik atau ada pihak yang sengaja menahan pasokan agar harga tetap tinggi.


Dalam kapitalisme, pangan bukan hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, melainkan komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan. Negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Alhasil, rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga.


Dalam Islam, praktik semacam ini termasuk dalam kategori *ihtikar* (penimbunan), yang dikecam keras:


*Rasulullah SAW bersabda:*

*"Barang siapa menimbun makanan (sembako) selama empat puluh hari dengan maksud menjualnya dengan harga tinggi kepada kaum Muslimin, maka Allah berhak menempatkannya di neraka."*  

(HR. Ahmad, Hakim, dan Thabrani)


Selain itu, ketika kelompok tertentu mempermainkan harga, mereka sejatinya telah menzalimi rakyat kecil. Padahal Allah SWT telah berfirman:


*"Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain secara batil..."*  

(QS. Al-Baqarah: 188)


Harga beras yang tinggi saat stok melimpah bukan sekadar ketimpangan ekonomi, tapi kezaliman terhadap rakyat miskin. Islam memandang distribusi pangan sebagai bagian dari amanah sosial yang harus dijaga.


Dalam Khilafah, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang. Khilafah akan memberi subsidi bibit, bubuk, maupun memberikan saprotan kepada petani secara cuma-cuma, untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan.


Khilafah juga melarang penimbunan dan memastikan distribusi merata, sehingga harga stabil dan rakyat terjamin. Khilafah akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, bukan dengan mematok harga. Pemastian ini pun merupakan ketundukan pada syariat Islam yang melarang ada intervensi harga. Maka, solusi hakiki bukan tambal sulam regulasi, tapi perubahan sistem.

Wallahu alam 


NengNur

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter