Kisruh Rebutan Pulau, Otonomi Daerah, dan Ancaman Disintegrasi: Refleksi atas Lemahnya Tata Kelola Wilayah


Di tengah semangat pembangunan daerah, muncul paradoks baru yang kian mengkhawatirkan: kisruh rebutan pulau antar wilayah administratif. Sengketa batas wilayah, terutama di daerah kaya sumber daya alam (SDA), mulai memicu ketegangan antar pemerintah daerah. Perebutan hak atas pulau bukan lagi sekadar soal garis koordinat, tapi sudah masuk ke ranah konflik kepentingan ekonomi, identitas lokal, dan stabilitas nasional.


Beberapa kasus sengketa yang mencuat baik di wilayah pesisir Kalimantan, Maluku, hingga Papua memperlihatkan pola yang sama: daerah-daerah berselisih demi potensi ekonomi pulau tertentu, terutama jika mengandung tambang, minyak, atau nilai pariwisata tinggi.


Kisruh rebutan pulau antar daerah dengan dalih otonomi dan pengelolaan sumber daya alam bukan sekadar konflik administratif. Ini adalah cermin dari lemahnya tata kelola wilayah, ego sektoral, dan potensi retaknya semangat persatuan bangsa. Ketika dua atau lebih daerah saling klaim wilayah demi akses SDA, yang dipertaruhkan bukan hanya batas, tapi stabilitas.


Otonomi daerah seharusnya memperkuat pelayanan publik dan mempercepat pembangunan, bukan membuka ruang egoisme lokal. Bila tidak ditangani serius, kisruh seperti ini berisiko menjadi api kecil yang menyulut ancaman disintegrasi, apalagi jika dimainkan oleh kepentingan politik atau ekonomi tertentu.


Fenomena rebutan pulau antar daerah di Indonesia, baik antar kabupaten, provinsi, maupun dengan pemerintah pusat, menjadi sinyal kuat bahwa otonomi daerah belum sepenuhnya berjalan dalam semangat persatuan dan keadilan. Ketika sebuah wilayah bersikukuh mengklaim pulau demi akses terhadap sumber daya alam (SDA), maka persoalan ini bukan lagi sekadar batas administratif, tetapi menyentuh inti kesatuan nasional dan keadilan ekonomi.


Otonomi daerah, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 2014, bertujuan mendekatkan pelayanan kepada rakyat dan mempercepat pembangunan. Namun dalam praktiknya, ia sering disalahpahami sebagai "hak mutlak" daerah atas wilayah dan kekayaan di dalamnya. Akibatnya, sengketa wilayah pun muncul—baik karena ketidakjelasan batas, kepentingan ekonomi, atau lemahnya koordinasi antar pemerintah.


Dalam perspektif Islam, kisruh semacam ini bukan hanya peristiwa birokratis, tetapi menyentuh dimensi moral dan keimanan. Pemimpin dan pejabat publik diberi amanah, bukan kekuasaan absolut. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:


*"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..."*  

(QS. An-Nisa: 58)


Rebutan pulau yang tidak didasari asas keadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut.


Salah satu peringatan keras Rasulullah SAW terkait urusan tanah adalah:


*"Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan membebaninya dengan tanah tujuh lapis bumi di hari kiamat."*

(HR. Bukhari dan Muslim)


Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya Islam menilai kezaliman dalam persoalan batas wilayah. Apa yang tampak seperti urusan teknis, sejatinya memiliki konsekuensi moral yang besar.


Allah SWT juga menegaskan pentingnya menyelesaikan urusan bersama melalui syura:

*"...dan urusan mereka diputuskan melalui musyawarah di antara mereka."*  

(QS. Asy-Syura: 38).


Pengalihan empat pulau dari Propinsi Aceh ke Propinsi Sumut mengundang perdebatan. Apalagi adanya dugaan potensi migas di wilayah tersebut. Ini adalah salah satu persoalan yang muncul ketika pengelolaan pemerintahan daerah menggunakan sistem otonomi daerah (Otda). Otonomi Daerah (OTDa) adalah sistem yang lahir dalam kerangka demokrasi sekuler-kapitalis, terutama dari pemikiran negara-negara Barat pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.


Otda membuat masing-masing daerah diberi kewenangan penuh pada daerah dalam mengatur urusan pemerintahan, termasuk dalam mengatur pendapatan daerah. Otonomi daerah akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-masing daerah. Oleh karena itu wajar jika adanya dugaan kandungan migas atau kekayaan alam lainnya memicu rebutan wilayah.


Otda juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki PAD tinggi. Perbedaan Tingkat kesejahteraan juga dapat memicu adanya disintegrasi. Hal ini berbeda dalam sistem sentralisasi 

Islam menetapkan adanya pengelolaan wilayah oleh negara secara sentralistik. Negara bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan secara merata pada seluruh wilayah, tidak tergantung pada pendapatan masing-masing wilayah. Semua dikelola oleh negara untuk kepentingan semua rakyat seluruh wilayah.


Negara akan berlaku adil dalam mengurus rakyat karena Islam menetapkan penguasa sebagai ra'in dan junnah bagi rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt.

Wallahu alam 


NengNur

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter