Pengangguran dalam Cengkeraman Kapitalisme: Saatnya Kembali pada Islam
Oleh : Nena Fatimah
Pemerintah daerah, termasuk Pemkab Bandung, kerap menggembar-gemborkan keberhasilan mereka menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan ekstrem. Klaim bahwa pengangguran tinggal 6% dan kemiskinan ekstrem hanya 0,5% mungkin terdengar melegakan. Namun, di balik angka-angka indah itu, realitas berkata lain. Harga kebutuhan pokok terus meroket, tarif PPN naik, PHK terjadi di berbagai sektor, dan banyak rakyat bahkan kesulitan makan tiga kali sehari. Inilah bukti bahwa angka statistik sering kali hanya menjadi alat pencitraan politik, bukan cerminan kondisi nyata masyarakat.
Kita patut bertanya, mengapa pengangguran dan kemiskinan seperti tidak kunjung selesai meskipun rezim berganti dan program demi program diluncurkan? Jawabannya terletak pada sistem yang menaungi seluruh kebijakan ini, yaitu kapitalisme. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai fasilitator, bukan penanggung jawab urusan rakyat. Rakyat dipaksa untuk mandiri tanpa jaminan akses modal, keterampilan, maupun pekerjaan. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat justru dikuasai oleh korporasi besar yang mengejar profit semata. Akibatnya, lapangan kerja yang tersedia pun bersifat eksploitatif—dengan upah murah dan kondisi kerja yang tidak layak. Sistem kapitalisme secara sistemik telah melahirkan dan mewariskan pengangguran struktural.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam hadir sebagai sistem yang menjadikan negara penanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), negara wajib memenuhi kebutuhan dasar tiap individu seperti pangan, papan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Negara tidak boleh lepas tangan. Negara juga bertugas membuka lapangan kerja, memberikan pelatihan keterampilan, serta menjamin setiap ayah atau wali mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarganya.
Islam juga menetapkan konsep kepemilikan yang khas, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Sumber daya alam yang melimpah dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Dana hasil pengelolaan ini digunakan untuk membiayai layanan publik, membuka lapangan kerja, dan menjamin hak-hak rakyat, termasuk kalangan miskin yang tidak mampu bekerja. Sejarah mencatat, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, petugas zakat kesulitan mencari penerima zakat karena tidak ada lagi rakyat miskin. Inilah bukti nyata keberhasilan sistem Islam mengentaskan pengangguran dan mewujudkan kesejahteraan sejati.
Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme tetap menjadi panglima, maka pengangguran hanyalah akan terus menjadi masalah kronis. Ilusi perbaikan melalui angka dan statistik tidak akan menyentuh akar persoalan. Saatnya umat menyadari bahwa hanya Islam—yang diterapkan dalam bingkai Khilafah—yang mampu menuntaskan pengangguran dan menghadirkan kesejahteraan hakiki bagi seluruh rakyat.
Wallahu a’lam bishshawab.
Komentar
Posting Komentar