Omnibus Law. Hapus jaminan halal demi genjot pendapatan negara.
UU Cipta Lapangan Kerja menghapus pasal-pasal yang tersebar di 32 Undang-Undang. Salah satunya pasal 4 di Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal.
Penghapusan pasal tersebut menimbulkan pro dan kontra, baik di kalangan ulama maupun penguasa dan pengusaha.
Menurut ketua PP Muhammadiyah. Dadang Kahmad kepada qartawan (21/1/2020) "kalau benar seperti itu patut disayangkan, penghapusan aturan tersebut akan membuat umat islam ragu dalam memilih makanan. Padahal UU Produk Jaminan Halal akan memberi perlindungan kepada konsumen umat islam yang 87% penduduk Indonesia dari makanan haram. Dengan tidak ada lagi jaminan produk halal maka umat akan ragu-ragu mengkonsumsi sesuatu sehingga pilih-pilih dan justru akan kontra produktif sehingga akn sedikit membeli produk yang diragukan.
Hal senada juga dikatakan oleh Sekjen MUI Anwar Abbas (21/1/2020) , bahwa politik dan ekonomi tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. "Di dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 dikatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya apa saja yang kita lakukan dan kebijakn apa saja yang kita buat tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan bahkan ia harus mendukung bagi tegaknya ajaran agama itu sendiri terutama agama islam yang merupakan mayoritas dari penduduk ini".
Namun menurut kalangan penguasa yang diungkapkan oleh Menteri Koperasi dan UMKN mengatakan bahwa dengan dihapuskannya sertifikasi halal akan meringankan pelaku UMKN, pasalnya selama ini sertifikasi diperuntukan ke masing-masing produk. Misalnya warung padang. Sertifikasi halalnya mesti satu per satu produk. Katakanlah dia punya 20 menu, satu menu biayanya 10 juta. Jadi satu restoran padang untuk sertifikasi saja bisa 80 juta. Ini kan menghambat" ujar Pak Menteri.
Kementriannyapun mengusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi namun pada bahan bakunya. Jadi sertifikasi tidak dibebankan pada UMKM namun kepada produsen bahan bakunya.
Dengan wacana ini maka pemerintah akan memuluskan bagi para importir sebagai pemilik modal untuk mendatangkan bahan baku. Apalagi pemerintah memfasilitasi kemudahan dengan adanya insentif tax holiday. Hal ini akan berimbas pada para petanikecil yang ada di negeri ini. Mereka semakin terhimpit dengan daya saing produk import. Belum lagi harga pupuk dan obat-obatan untuk kebutuhan pertanian yang semakin mahal.
Pemerintah dalam hal ini lebih pro kepada pengusaha/kaum kapital dibanding kepada para petani kecil. Banyak para petani yang akhirnya menjual tanahnya karena dari hasil bertani yang tidak menentu.
Jelaslah ketidak adilan ini akibat negara menerapkan aistem kapitalistik dan rezim ini telah mengubah bentuk negara menjadi negara yang selalu mengejar untung rugi.
Dengan adanya wacana sertifikasi bukan lagi pada bentuk jadi namun pada bahan bakunya maka hal ini akan mengabaikan kehalalan di tingkat pengolahan (produksi) dan distribusi. Hal ini menegaskan rezim sekuler gagal melindungi hak publik (kaum muslim) untuk memberikan jaminan halal.
Dalam Islam, diwajibkan untuk memakan makanan yang halal dan baik. Allah SWT berfirman: "Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik. Dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya" (QS. Al Maidah: 88)
Dalam sistem Islam, negara akan melindungi dan menjaga rakyatnya dari berbagai bentuk agenda penjajahan ekonomi, politik dan budaya dengan penuh ketakwaan bahwa mereka adalah pelayan umat. Sehingga dalam hal makananpun akan terjaga kehalalannya
Wallahu a'lam bi ash shawab.
Komentar
Posting Komentar