Utang Membengkak, Salah Siapa?

Oleh Renita


Pemerintah tahun ini berencana menambah utang baru yang amat besar. Nilainya sangat ambisius yakni mencapai Rp1.006 triliun. Jumlah itu mencapai tiga kali lipat dari utang setiap tahun, dengan dasar  Perpu No 1 Tahun 2020 dan dengan dalih menghadapi wabah corona.  "Jika gagal mendapat utang sebesar itu, dan dipastikan APBN ambyar total. Sementara rencana cetak uang Rp6.000 triliun dimentahkan oleh Bank Indonesia (BI) artinya rencana ini ambyar. BI ketakutan," kata peneliti AEPI Salamuddin Daeng di Jakarta.
Pada saat yang sama, lanjut dia, Pemerintah menanggung beban utang luar negeri yang sangat besar. Demikian juga utang BUMN luar negeri yang juga besar. Hal yang juga paling mengkhawatirkan adalah jika  Pemerintah gagal membayar dana dana publik yang dipakai oleh APBN. "Mereka itu seperti dana Haji, dana Jamsostek, Asabri, dana Taspen, dana perusahaan asuransi, dana perbankkan yang selama ini ditelan didalam surat utang negara (SUN)," sebut pengamat muda itu. (Bisnisnews.id)
Dikutip dari asiatoday.id, Bank Indonesia (BI) mencatat pembengkakan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 menjadi sebesar USD400,2 miliar. ULN terdiri dari sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD192,4 miliar dan sektor swasta termasuk BUMN sebesar USD207,8 miliar. “ULN Indonesia tersebut tumbuh 2,9 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2020 sebesar 0,6 persen (yoy). Hal itu disebabkan oleh peningkatan ULN publik di tengah perlambatan pertumbuhan ULN swasta,” jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko melalui keterangan di Jakarta, Senin (15/6/2020).
Menurutnya, perkembangan tersebut dipengaruhi oleh arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN), dan penerbitan Global Bonds pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan wabah covid-19.“Pengelolaan ULN pemerintah dilakukan secara hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas yang saat ini dititikberatkan pada upaya penanganan wabah covid-19 dan stimulus ekonomi,” paparnya.
Kementerian Keuangan mencatat total pembiayaan utang neto pemerintah hingga Mei 2020 mencapai Rp 360,7 triliun. Jumlah ini meningkat 35,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kenaikan realisasi pembiayaan hingga Mei 2020 antara lain disebabkan oleh defisit anggaran yang meningkat. Pada periode yang sama, defisit APBN membengkak 42,8% menjadi Rp 176,9 triliun atau 1,1% terhadap PDB. “Dengan defisit yang naik, realisasi pembiayaan meningkat. SBN neto kami sudah terbitkan Rp 369 triliun, sedangkan pinjaman turun Rp 8,3 triliun," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Selasa (16/6). (katadata.co.id)
Seiring penanganan wabah, utang luar negeri Indonesia semakin membubung tinggi. Baik untuk deficit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan secara efisien untuk membiayai rakyat di masa pandemi. Dalam sebuah tatanan negara demokrasi kapitalis, negara berutang kepada negara lain adalah keniscayaan, tak terkecuali di negeri ini. Paradigma salah tentang utang telah menjerumuskan negara dalam cengkeraman utang luar negeri yang entah sampai kapan bisa keluar. Utang luar negeri dianggap sebagai pendapatan negara dan dimasukkan ke dalam pos pendapatan Negara.
Padahal sejatinya utang luar negeri yang diberikan adalah senjata politik negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain untuk menancapkan hegemoni mereka dan memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terutama terhadap kaum Muslimin. Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Utang luar negeri yang makin menumpuk bisa membawa negeri kehilangan kedaulatan dan menjadi alat penjajahan ekonomi. Kebijakan Negara berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat tapi dikendalikan oleh kepentingan asing.
Miris, ditengah pandemi covid-19 yang belum usai, rakyat pontang-panting mencari uang untuk sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari, serta finansial masyarakat dan negara yang menuntut pembenahan di sana-sini, tampaknya rakyat harus siap mental lebih kuat lagi untuk menghadapi badai utang luar negeri telah dicanangkan pemerintah . Sungguh, semua realitas ini makin menegaskan bahwa negara kita memang kapitalis sejati. Seakan-akan tiada sedikit pun celah bagi rakyat untuk bernafas lega sejenak saja. Bahkan di tengah wabah sekali pun.
Hal ini sangat berbeda dengan pengelolaan pendapatan negara yang dilakukan dalam sistem islam. Pendapatan negara Khilafah mungkin saja mengalami defisit seperti halnya yang terjadi pada negeri kita, namun khilafah tidak akan mengambil solusi dengan cara instan seperti yang dilakukan pemerintah saat ini yaitu menambah utang luar negeri, terlebih pada lembaga-lembaga ribawi. Jelas ini bertentangan dengan islam. Islam telah mengharamkan riba. Bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran: “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al-Baqarah: 275).
Apabila pendapatan Khilafah tidak cukup untuk membiayai semua pengeluarannya sehingga terjadilah defisit anggaran. Cara Khilafah mengatasi defisit anggaran ini secara garis besar ada 3 (tiga) langkah sebagai berikut:
Pertama, meningkatan pendapatan. Untuk mengatasi defisit anggaran, Khalifah berhak melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, tentunya harus tetap sesuai hukum-hukum syariah Islam. Paling tidak ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:
1)       Mengelola harta milik negara (istighlal amlak ad-dawlah). Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara.
2)       Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Hima yang seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., misalnya tatkala Rasulullah saw. melakukan hima pada satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim. Khalifah Abu Bakar ra. pernah pula melakukan hima pada Ar-Rabdzah, khusus untuk unta-unta zakat, dan sebagainya.
3)       Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pada dasarnya pajak bukanlah pendapatan negara yang bersifat tetap, melainkan pendapatan negara yang sifatnya insidentil atau temporer, yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi.
4)       Mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Khalifah dapat pula menempuh langkah mengoptimalkan pemungutan berbagai pendapatan Baitul Mal yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fai‘, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya.
Kedua, menghemat pengeluaran. khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Contohnya pengeluaran untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya penyempurna, atau yang disebut Al-Mashalih al-Kamaliyah, yang patokannya adalah kepentingan yang jika tidak dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi rakyat
Ketiga, berutang (istiqradh). Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu:
a)       untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah;
b)       untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll;
c)       untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll.
Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di Baitul Mal, pada awalnya Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya (dharar), Khalifah boleh berutang.
Waallahu a’lam Bii Showwab

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter