MIMPI DEMOKRASI BERANTAS KORUPSI
Oleh : Rengganis Santika
" The Power tend to corruption" adigum
atau pepatah yang artinya kurang lebih "kekuasaan cenderung untuk korupsi"
ini, terasa begitu relevan dengan fakta
yang terjadi sekarang. Kasus "surga di lapas sukamiskin" kemudian deretan
pejabat yang terjaring OTT (operasi tangkap tangan). Maraknya pemberitaan para kepala daerah dan wakil
rakyat yang terjerat korupsi, ramai mewarnai berbagai media. Baik media online
maupun offline, semakin menguatkan adigum tersebut.
Semua pemberitaan tersebut seolah tidak mengusik
gelaran pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak, yang baru saja negri ini lewati.
Pesta demokrasi yang sukses menghabiskan banyak anggaran, baik yang bersumber
dari uang rakyat (APBN/APBD), maupun biaya dari para kontestasi sendiri. Belum
terhitung biaya sosial yang ditimbulkan, yaitu terjadinya perpecahan diantara
anak bangsa. Saling hujat, saling curiga dan lain sebagainya. Penyelenggara
negara nampak tak terpengaruh dengan fakta korupsi di kalangan penguasa daerah.
Rakyat negri ini, bisa menyaksikan dengan
terang benderang, bahwa pilkada yang dianggap paling demokratis sekalipun lebih
banyak madharat nya dibanding manfaatnya. Apalagi output atau hasil pemimpin
yang terpilih dari berbagai warna partai , namun pada akhirnya sama-sama
memakai baju warna oren (baju tersangka KPK), dan masuk bui. Bukannya membuat
jera bahkan setelah masuk bui pun masih bisa menyuap kalapas atau sipir
penjara.
Demokrasi pasti butuh anggaran yang tak
sedikit! Tak heran bila konsekwensi logis, ketika diraihnya kekuasaan akan cenderung
menggiring pada tindakan korup, sebagai kompensasi biaya yang telah dikeluarkan
(balik modal). Politik transaksional merupakan ciri khas politik demokrasi. Itu
sebabnya pepatah diatas ada ketika kekuasaan berada dalam area sistem politik
demokrasi.
Berangkat dari fakta diatas, apa yang bisa
diharapkan oleh bangsa ini agar Indonesia terbebas dari korupsi? Ibarat mencuci
pakaian di dalam ember berlumpur. Terus mencuci namun jangan harap pakaian akan
bersih selama ember tempat mencuci tetap kotor. Pemberantasan korupsi dialam
demokrasi ibarat sebuah mimpi. Dan upaya pemberantasan korupsi, menjadi semakin
rumit, ditambah moralitas, aparat penegak hukum, lembaga peradilan masih
diragukan. Karena tebang pilih dan tak memberi efek jera pelaku. Begitulah
karena demokrasi tidak menghitung isi kepala apalagi akhlak dan moralitasnya,
yang penting berapa jumlah kepala. Usulan bahwa koruptor dilarang nyaleg, pada
akhirnya cuma sebatas polemik tak menunjukkan komitmen untuk "menghabisi"
korupsi.
Rakyat merindukan pemimpin, atau kepala
daerah dan pejabat yang betul-betul amanah dalam mengayomi seluruh urusan rakyat.
Rakyat merindukan pemimpin yang tidak
menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan untuk kepentingan diri, keluarganya, atau
kelompok/partai /segelintir orang. Ketika islam diterapkan, maka negara akan meletakkan
pondasi kokoh yaitu dengan menjadikan aqidah dari zat yang maha sempurna, yaitu
Allah SWT sebagai azas dalam negara. Dari azas tersebut akan terpancar aturan
untuk memecahkan problem hidup masyarakat.
Oleh karena itu ketakwaan individu,
masyarakat dan negara akan terpancar dalam kehidupan. Jangankan korupsi atau
merampok uang rakyat/negara, mengambil yang bukan hak nya walau hanya seutas
benang, maka seseorang akan takut dan menjaga karena selalu terhubung dengan
Allah (idrak silah billah). Demikian pula suap menyuap, jangankan yang nilainya
milyaran bahkan trilyunan (seperti kasus E-ktp), pencurian sendal jepitpun di
masjid akan menjadi kasus yang langka. Ini
bukan mimpi atau fakta khayalan, namun terbukti secara historis dan empiris
berbelas abad melalui institusi kekhilafahan dari mulai khulafaur Rasyidin sampai
kekhilafahan utsmani. Bila ada yang masih merasa takut, apriori terhadap syariat
islam, apalagi menyebut radikal. Percayalah itu semua terjadi karena salah
paham atau belum paham dan tak mencoba memahami. Wallahu'alam bish showab.
Komentar
Posting Komentar