GEGER PEMBAKARAN BENDERA TAUHID
Oleh
: Nur Ummu Fariz
Polda Jawa
Barat dan Polres Garut telah melakukan gelar perkara terbuka kasus dugaan
pembakaran bendera bertuliskan lafadz kalimat Toyyibah, atau yang dinyatakan
polisi sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hasil gelar perkara
polisi itu akhirnya menyatakan tidak bersalah kepada tiga orang pelaku
pembakaran bendera di Garut itu dan sekarang berstatus sebagai saksi.
Terhadap tiga
orang anggota Banser yang membakar tidak dapat disangka melakukan perbuatan
pidana karena salah satu unsur yaitu niat jahat tidak terpenuhi, "kata
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo kepada Republika.co.id pada kamis
(25/10)", status tiga orang yang diamankan polisi pascakejadian ini tetap
berstatus saksi. Ketiganya yakni ketua panitia dan pelaku pembakaran bendera
diduga milik HTI. Alasan memutuskan tidak bersalah kepada tiga orang tersebut
karena tidak ditemukan niat jahat. Ketiganya melakukan aksi pembakaran karena
spontanitas melihat adanya bendera HTI di tengah-tengah acara peringatan Hari
Santri Nasional (HSN).
Sejak awal
mereka melarang peserta membawa atribut lain selain bendera merah putih, tidak
boleh membawa bendera HTI dan ISIS, kata Dedi. Namun yang terjadi justru ada
orang yang dengan sengaja mengeluarkan bendera HTI dan mengibar-ngibarkan.
Sontak saja mereka yang hadir langsung menarik mundur laki-laki tersebut dan
meminta keluar dari acara HSN. Sedangkan bendera HTI tersebut langsung dibakar,
karena mereka tahu bahwa HTI merupakan organisasi yang telah dilarang di
Indonesia.
Tiga orang
anggota Banser secara spontan membakar bendera tersebut dengan pertimbangan
bendera tersebut adalah bendera HTI dan agar tidak digunakan lagi. Karena itu,
tindakan pembakaran tersebut adalah respon terhadap tindakan dari pembawa
bendera. Sehingga polisi sekali lagi menyatakan tidak menemukan niat jahat
terhadap tindakan pembakaran yang dilakukan anggota Banser tersebut. Karena
perbuatan dilakukan spontan maka tidak ada niat jahat dari ketiga orang anggota
Banser tersebut saat melakukan pembakaran, karena sebelumnya sudah ada larangan
membawa bendera selain bendera merah putih, kata Dedi (Republika.co.id).
Seperti
diketahui, insiden tersebut terjadi pada saat peringatan HSN senin (22/10)
lalu. Aksi pembakaran bendera diduga milik HTI memicu kekecewaan umat dan
mendapatkan banyak kecaman. Sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menyatakan, bendera yang dibakar dalam insiden pembakaran merupakan bendera
Tauhid. MUI tidak menjumpai adanya lambang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
dibendera tersebut. Memang itu tidak ada HTI nya, jadi itu kalimat Tauhid. Kami
melihat yang dibakar kalimat Tauhid karena tidak ada simbol HTI, kata wakil
Ketua Umum MUI Yunahar Ilyas, di kantor MUI pusat, Jakarta selasa (23/10).
Polisi akhirnya
telah menilai siapa pihak yang bersalah atas insiden pembakaran bendera
bertuliskan kalimat Tauhid dan oleh polisi dinyatakan sebagai bendera HTI.
Pascagelar perkara alat bukti, polisi memutuskan bahwa laki-laki penyusup
inilah sebenarnya orang yang sengaja ingin mengganggu kegiatan HSN yang resmi
dan bertujuan positif. Acara tersebut juga secara resmi telah mendapat izin
dari instansi kepolisian. Banser berkomitmen HSN digelar untuk tujuan
meningkatkan Ukhuwah Islamiah, sikap Nasionalisme dan komitmen pada NKRI dan
Pancasila.
Ditengah
kegiatan upacara itulah, ada seorang laki-laki membawa ransel yang tiba-tiba
mengeluarkan bendera, kemudian mengibarkan bendera yang diduga milik HTI
tersebut di tengah-tengah acara HSN. Dari kontraksi peristiwa tersebut maka konstruksi
hukumnya bahwa tindakan pembakaran tersebut adalah tindakan spontan sebagai
respon terhadap tindakan seorang laki-laki yang mengibarkan bendera HTI.
Seandainya tidak ada laki-laki penyusup pembawa bendera maka peristiwa
pembakaran tidak pernah terjadi.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa faktor utama penyebab terjadinya tindakan pembakaran ini
adalah tindakan laki-laki yang menyusup dan mengibarkan bendera HTI yang sudah
dilarang sebelumnua. Terhadap laki-laki penyusup tersebut, polisi mengenakan
pasal 174 KUHP, yang berbunyi barang siapa dengan sengaja mengganggu rapat umum
yang tidak terlarang, dengan mengadakan huru-hara, atau membuat gaduh, dihukum
penjara selama-lamanya tiga minggu.
Tindakan diatas
tentu sulit diterima akal sehat. Pasalnya, banyak hadis shahih atau minimal
hasan yang menjelaskan seputar al-Liwa' dan ar-Rayah ini. Diantaranya
Rasulullah saw bersabda:
Rayah
Rasulullah saw, berwarna hitam dan Liwa'nya berwarna putih (HR at-Tirmidzi,
al-Baihaqi, ath-Thabarani dan Abu Ya'la).
Lebih tegas
dinyatakan dalam hadis lain:
Rayah
Rasulullah saw, berwarna hitam dan Liwa'nya berwarna putih. Tertulis disitu
Laailaaha illallaah Muhammad Rasulullah (HR Abu Syaikh al-Ashbahani dalam
Akhlaq an-Nabiy saw.).
Kalimat
Laailaaha illallaah Muhammad Rasulullah merupakan 'alamah atau ciri keagungan
Islam. Misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan
kalimat Allah SWT ini. Kalimat tauhid adalah harga bagi syurga. Suatu saat Nabi
saw mendengar muadzin mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallaah. Lalu beliau
berkata kepada muadzin tersebut:
Engkau terbebas
dari neraka(HR Muslim).
Beliau juga
pernah bersabda:
Siapa saja yang
akhir ucapannya (sebelum wafat) adalah Laailaaha illallaah maka dia pasti masuk
syurga (HR Abu dawud).
Kalimat tersebut
juga merupakan kalimat zikir yang paling utama. Sabda Nabi saw:
Zikir yang
paling utama adalah bacaan Laailaaha illallaah (HR at-Tirmidzi).
Jelas,
pembakaran ar-Rayah yang bertuliskan kalimat tauhid merupakan tindakan
pelecehan yang tidak dapat dibenarkan. Karena itu Liwa'nya dan Rayah Rasul saw,
itu harus di agungkan dan dijunjung tinggi. Sebab keduanya merupakan syiar
Islam yang malah harus menggantikan syiar-syiar jahiliah yang menceraiberaikan
kaum Muslim dalam sekat-sekat 'ashabiyah. Allah SWT berfirman :
Demikianlah
(perintah Allah) siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu
timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj:32)
Alhasil,
seperti dinyatakan oleh Imam Muhammad asy-Syaibani dalam As-Siyar al-kabir,
Liwa' kaum Muslim selayaknya berwarna putih dan Rayah mereka berwarna hitam
sebagai bentuk peneladanan kepada Rasul saw. Umat Islam seharusnya berjuang
bersama untuk mengembalikan kemuliaan keduanya sebagai panji tauhid, identitas
Islam dan kaum muslim, sekaligus pemersatu mereka.
Wallah a'lam bi
ash-shawab
Komentar
Posting Komentar