HANYA ATURAN ISLAM YANG BISA MENUNTASKAN KEMISKINAN



                                                                Oleh : Ratna Juwita
Program pengentasan kemiskinan yang digalakkan pemerintahan Jokowi dianggap gagal, lantaran hanya mengukur status orang miskin dari kemampuan makan dua kali sehari.
Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Moehammad menuturkan, jika ukuran orang miskin hanya dari ketidakmampuan memenuhi makan dua kali sehari, maka program-program pengentasan kemiskinan diyakini sudah salah sasaran dan menimbulkan kegagalan.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyampaikan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia berkurang.


"Ya jelas saja berkurang, karena metode menghitung jumlah penduduk Miskin di Negeri ini penuh akal-akalan. Masa yang disebut miskin kalau dalam sehari hanya mampu makan dua kali? Ukuran apaan itu?" ujar Dika dalam keterangannya.
Lihat saja, kata dia, garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS hanya mencukupi kebutuhan satu kali makan sehari untuk satu orang. Jadinya, setiap orang yang sehari mampu makan dua kali, dinyatakan tidak masuk dalam kategori orang miskin.
"Dengan begini tidak perlu dicatat sebagai sasaran penerima program pengentasan kemiskinan," ujarnya.
Jelas sekali, lanjut dia, perhitungan macam ini tidak masuk akal. “Masa iya, orang yang mampu makan dua kali sehari dianggap tidak miskin? Dan tidak perlu menerima program dari pemerintah, agar kesulitan hidupnya dapat diatasi. Ini benar-benar gila," kritik Dika.
Dia menerangkan, garis kemiskinan versi pemerintah Rp 401.220 per bulan atau bila dikonversi menjadi 0,95 dolar AS per hari. Ukuran ini jauh di bawah standar resmi garis kemiskinan internasional yang ditetapkan Bank Dunia, yakni sebesar 2 dolar AS per hari. Bila dikonversi menjadi Rp 840 ribu per bulan, maka terdapat lebih dari 100 juta jiwa atau 39 persen penduduk Indonesia masuk ketegori miskin.
"Sebegitu banyaknya orang miskin Indonesia, kok bisa-bisanya dibilang turun jumlahnya? Malah cuma diukur dari kemampuan makannya kurang dari dua kali sehari," ujar Dika.
Asumsi yang dibuat Pemerintah dalam menentukan garis kemiskinan adalah mereka yang memiliki pengeluaran di bawah Rp 401.220 perkapita perbulan (sekitar Rp 13 ribu perhari). Penentuan ambang batas kemiskinan tersebut dipertanyakan banyak kalangan. pasalnya, standar Pemerintah dalam menentukan angka kemiskinan tidak logis. Bayangkan, setiap orang dengan pengeluaran Rp 15 ribu rupiah perhari, misalnya, dianggap telah sejahtera. Mereka dianggap bukan orang miskin. Padahal jelas, dengan Rp 15 ribu perhari, orang hanya bisa makan sekali sehari. Itu pun alakadarnya. Lagi pula, manusia hidup tak cuma butuh makan. Apalagi cuma sekali sehari. Manusia hidup juga butuh pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, biaya transportasi, dll. Faktanya, semua itu tidak gratis.
Jelas standar kemiskinan Rp 13 ribu perhari sangat merendahkan orang miskin.

Standar Islam
Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak.

Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan
Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan.
Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Pentingnya Penerapan Syariah Islam
Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme-sekularisme. Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang.
Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara.
Dalam konteks global, di semua negara yang menganut kapitalisme-liberalisme-sekularisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Karena itu saatnya kita tinggalkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah akan menjadi rahmat bagi mereka (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Lebih dari itu, penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah SWT.
Wallahu 'alam.

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter