Solusi Islam atas Puluhan Tahun Krisis Air Bersih
Oleh Riani Amanatillah
Krisis air bersih pada
faktanya masih terus terjadi setiap tahun di banyak wilayah di Indonesia. Di
Kabupaten Karawang, krisis air sudah terjadi sejak bulan Juli yang lalu. Setiap
pagi dan sore, puluhan warga Desa Cigunungsari, Kecamatan Tegalwaru, Karawang
mengambil air keruh yang bercampur lumpur di sebuah kubangan untuk keperluan
cuci, mandi, dan minum. Air tersebut diberi tawas terlebih dahulu sebelum
digunakan. Warga mengatakan bahwa sumur mereka mengering karena kemarau, dan
untuk mendapatkan air, mereka harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer sambil
menjinjing ember (https://www.merdeka.com,
20/8/2018).
Di dataran tinggi
Samosir, Kecamatan Ronggur Ni Huta, krisis air bersih terjadi di delapan desa
sejak bulan Mei lalu. Warga harus mengambil air dari kubangan yang mereka gali
sendiri, dan kubangan tersebut berjarak 1 kilometer. Seribu kepala keluarga
bergantung pada air yang berasal dari kubangan berukuran 1x1 meter dengan
kedalaman 1,5 meter tersebut. Kondisi air yang mereka peroleh itu pun tidak
lagi jernih akibat warga yang bergantian menimba. Menurut warga, Pemkab belum
bisa memecahkan masalah itu sejak puluhan tahun lalu, padahal air dapat
diperoleh dari Danau Toba, ditarik memakai pompa secara bertahap kemudian
disalurkan secara estafet menuju dataran tinggi Samosir (medan.tribunnews.com,
16/8/2018).
Masalah yang sama
terjadi di Desa Pantai Mekar, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Warga
terus mengeluhkan sulitnya memperoleh air bersih yang sudah terjadi sejak
1980-an. Mereka juga mengatakan bahwa tidak pernah ada bantuan air bersih di
sana (https://www.republika.co.id,
17/8/2018).
Krisis air bersih tahun
ini juga diperparah oleh bencana gempa yang baru saja terjadi. Di Nusa Tenggara
Barat (NTB), sumur-sumur menjadi dangkal karena getaran gempa membuat sumur
runtuh hingga tertutupi pasir, sehingga volume airnya menjadi sangat berkurang.
Masyarakat yang tinggal di tenda-tenda darurat pun harus mencari air ke lokasi
yang jauh (https://www.liputan6.com,
17/8/2018).
Di dalam Al-Qur’an surat
Al-Mukminun: 18, Allah berfirman, “Dan Kami turunkan air dari langit menurut
suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami
benar-benar berkuasa menghilangkannya”. Berdasarkan ayat ini, jelas bahwasanya
Allah menciptakan air dengan jumlah yang cukup untuk kebutuhan manusia di
bumi-Nya, dan jumlah air di bumi tidak pernah berkurang. Adapun krisis air yang
terjadi, hal itu merupakan ulah manusia. Pemanasan global, berkurangnya daerah
resapan air akibat deforestasi, kapitalisasi sumber daya air oleh perusahaan
air kemasan, pengelolaan air bersih perpipaan yang kapitalistik, dan pencemaran
sungai serta danau adalah penyebab krisis air oleh orang-orang yang zalim.
Sebagaimana telah
disinggung dalam pemaparan sebelumnya, cara yang dapat dilakukan oleh
pemerintah untuk mengatasi krisis air adalah dengan mengefektifkan air danau
dan sungai. Dalam pandangan Islam, danau dan sungai merupakan kepemilikan umum
(mulkiyah ‘aammah). Hal ini berdasarkan hadits: “Muslim berserikat dalam tiga
hal: dalam padang gembala, air, dan api” (H.R. Abu Dawud). Dengan begitu, keduanya
tidak boleh diprivatisasi dan harus dikuasai oleh negara untuk kepentingan
masyarakat. Berdasarkan penjelasan ini, negara juga tidak boleh memberikan
sumber air untuk diolah oleh perusahaan air kemasan. Kemudian, air danau dan
sungai dapat dialirkan ke rumah-rumah warga menggunakan teknologi yang
disediakan pemerintah. Cara penjagaan kelestarian danau dan sungai pun harus
diperjelas. Pemerintah harus memberikan hukuman yang membuat jera orang-orang
yang mencemari kedua sumber air tersebut, tanpa pandang bulu.
Solusi lain yang
didasarkan pada syari’at Islam adalah keharusan untuk peduli terhadap
lingkungan. Hal ini berdasarkan ayat di dalam Al-Qur’an, surat Al-A’raf: 56
yang artinya “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah (Allah)
memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik”. Berdasarkan ayat ini, negara wajib untuk
membuat kebijakan mengenai daerah mana yang boleh dan tidak boleh dibangun agar
tersedia daerah resapan air. Selain itu, pelaku usaha/kegiatan harus membuat
dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL, dan sejenisnya) sebelum usaha/kegiatan mereka
berjalan. Limbah industri pun harus diperhatikan oleh pemerintah. Pembuangan
limbah ke sungai yang seringkali ditutup-tutupi oleh perusahaan dan oknum-oknum
yang tidak amanah harus dibawa ke ranah hukum. Seluruh solusi yang didasarkan
pada nash-nash syara’ ini insha Allah dapat mengatasi krisis air yang selama
ini terus berlangsung. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
Komentar
Posting Komentar