Dana Apel Kebangsaan Delapan Belas Kali Lipat Bantuan Bencana, Hilangkah Rasa Kemanusiaan?
Oleh Riani Amanatillah
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli
Zon melontarkan kritiknya terhadap Apel Kebangsaan yang diselenggarakan Pemprov
Jawa Tengah melalui akun twitternya. “Apel Kebangsaan @ganjarpranowo 18 M di tengah
kemiskinan. Inilah klu gubernur kurang berakal sehat,” cuit Fadli (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190317165036-32-378055/apel-kebangsaan-rp18-m-fadli-sebut-ganjar-kurang-akal-sehat).
Ia juga menyinggung dana yang dialokasikan pemerintah untuk penanggulangan
bencana banjir bandang di Sentani, Papua. “Apel
Kebangsaan 18 M, bantuan musibah Sentani 1 M, menjamu IMF 1 T.
#rezimsontoloyo,” ujarnya (https://m.suara.com/news/2019/03/19/113344/apel-kebangsaan-18-m-bantuan-sentani-1-m-imf-1-t-fadli-rezim-sontoloyo).
Pertemuan IMF-World
Bank yang dimaksud Fadli dilaksanakan pada 8-18 Oktober 2018. Saat itu
pemerintah mempersiapkan secara matang segala sarana dan prasarana yang diperlukan,
mulai dari helikopter sebanyak 30 unit hingga kapal selam, bahkan PT Pelindo
III menghabiskan anggaran hingga Rp700 miliar untuk pendalaman alur dan kolam
di Pelabuhan Benoa Bali agar kapal pesiar raksasa MV Genting Dream bisa
bersandar. Selain itu, pemerintah juga menganggarkan anggaran multiyears
sebesar Rp855,5 miliar (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4016915/rp-855-miliar-anggaran-pertemuan-imf-world-bank-di-bali/1).
Setidaknya ada dua hal
yang dapat kita simpulkan dari fakta yang telah dipaparkan, berdasarkan sudut
pandang Islam. Pertama, hilangnya rasa kemanusiaan dan tanggung jawab penguasa
atas rakyat yang dipimpinnya sendiri di negeri ini. Di dalam Islam, penguasa
diamanahi berbagai urusan dan kemaslahatan rakyat. Dia akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat nanti di hadapan Allah SWT atas amanah yang dia
emban dalam pengurusan berbagai urusan rakyat. Penguasa yang memahami tanggung
jawabnya tentu akan sangat berhati-hati dalam semua tindakan, kebijakan, dan
ucapannya. Penguasa tidak akan abai atas penderitaan rakyatnya, sehingga ironis
jika saat rakyat kelaparan dan meregang nyawa karena bencana, para pemimpin
negeri ini justru bermewah-mewah pada hal lain.
Hal
kedua yang dapat kita simpulkan adalah buruknya kepengurusan infrastruktur
lunak di negeri ini. Infrastruktur lunak merupakan institusi atau lembaga yang berperan dalam menjalankan
fungsi ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial, dan budaya di dalam sebuah
negara. Penanggulangan bencana masuk ke dalam fungsi infrastruktur ini. Pemerintah
saat ini lebih fokus pada pembangunan infrastruktur keras seperti tol dan
jembatan, dan menyampingkan pembangunan infrastruktur lain. Hal ini terbukti
dengan alokasi dana yang sedikit untuk bencana alam dan tidak dibenahinya
fasilitas-fasilitas yang memungkinan masyarakat selamat dari bencana alam.
Pemerintah tidak menggubris riset disertasi
peneliti gempa dari LIPI yang pada tahun 2017 menemukan bahwa Palu dilalui
Sesar Palu-Koro yang dapat memicu gempa besar pada masa mendatang.
Selain itu, alat Tsunami Early Warning System (TEWS) yang dibangun mahal dengan
bantuan teknologi dari Jerman, ternyata sejak tahun 2012 sudah tidak berfungsi
lagi. Banyak buoy sensor tsunami yang dicuri pemulung. Lebih jauh lagi, Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) saling lempar tanggung jawab mengenai bencana alam. Mereka
merasa tugas yang diberikan Badan Penanggulangan Bencana bukan lagi merupakan
tugas dan fungsinya.
Siapa pun yang memimpin Indonesia hari ini, baik di
level pusat dan daerah, harus mempunyai kesadaran politik penanggulangan
bencana. Politik penanggulangan bencana meliputi upaya pencegahan, tanggap
darurat, dan pemulihan pasca bencana. Kesemuanya harus diperhatikan sama
pentingnya, tidak boleh lebih fokus pada satu atau dua hal. Pemerintah harus
memiliki kesadaran akan pengelolaan tanggap bencana dan menyiapkan segala hal
yang diperlukan, mulai dari perangkat kebijakan, pengorganisasian yang baik,
SDM handal dan terlatih, anggaran besar khusus bencana, serta sarana dan
prasarana yang melimpah. Sayangnya, karena pemerintah lalai terhadap hal ini,
seringkali bencana alam menjadi malapetaka besar yang menelan banyak korban
jiwa, dan kerugian materi yang besar.
Ditinjau dari segi ruhiyah, pemerintah tidak mau
mengaitkan bencana yang terjadi dengan makna di balik bencana itu sendiri.
Padahal Rasulullah SAW telah menjelaskan perihal peristiwa bencana. Suatu kali
di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya
di atas tanah dan berkata, “Tenanglah... belum datang saatnya bagimu.” Lalu,
Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian
menegur kalian... maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!”
Dahulu ketika sistem Islam masih diterapkan di masa
kekhilafahan Turki Utsmani, Sultan Ahmed mempekerjakan seorang arsitek bernama
Sinan yang membangun Mesjid Sultan Ahmed dengan konstruksi beton bertulang yang
sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan
menyalurkan beban secara merata. Semua mesjid yang dibangunnya juga
diletakkan pada tanah yang menurut penelitian saat itu cukup stabil. Gempa bumi
berkekuatan di atas 8 skala richter yang terjadi di kemudian hari, terbukti tak
membuat dampak sedikitpun pada mesjid itu.
Penyebab abainya pemerintah atas kepengurusan rakyat
adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini. Pemerintah lebih
condong pada kepentingan asing dan pemilik modal, serta sibuk menumpuk
hartanya, bukan condong pada kepentingan warga negaranya. Selama sistem ini
masih dipertahankan, rakyat akan terus terzalimi. Wallah a’lam bi ash-shawab.
Komentar
Posting Komentar