Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Oleh Nurfadilah
Pesta Rakyat sudah belalu, pasca pesta lima
tahunan negara Indonesia tetap terasa panas hingga saat ini. Pasalnya, tidak
sedikit peristiwa yang terjadi membuat masyarakat penuh dengan tanda tanya.
Mulai dari kecurangan yang terjadi saat diselenggarakannya pemilu, mekanisme
pemilu yang dianggap sedikit lebih rumit, dan banyaknya pasangan yang harus
dipilih untuk tahun ini. Dan yang mejadi rancu, kebanyakan masyarakat tidak
mengenal calon-calon yang ada dalam surat suara, apalagi untuk sampai hafal
visi misi mereka.
“Kalau
pilpres saya paham, tetapi kalau sudah masuk DPRD Kota Bogor, DPRD Provinsi,
DPR RI, dan DPD, saya buta sekali.” Ujar salah seorang masyarakat yang
berdomisili di Bogor. Meski banyak yang mengetahui keberadaan DPD RI, mayoritas
belum paham apa fungsi lembaga tersebut. Hanya 30 persen atau 12.946 orang yang
tahu dan memahami fungsi DPD. Sementara sisanya 70 persen atau 30.206 orang
belum tahu. Kebanyakan mereka tahu sebatas DPD itu senator, lain-lainnya tidak
tahu.
Disisi
lain belum lagi masalah yang terdapat di berbagai TPS seperti rusaknya surat
suara, kerusakan kotak suara, jumlah surat suara yang tidak sesuai jumlah
penduduk,dan terkait dengan banyaknya jumlah petugas KPPS yang meregang nyawa
pasca pemilu, KPU terus melakukan pendataan. Data terakhir menyebutkan bahwa
ada setidaknya 144 orang meninggal sementara ratusan lainnya menderita sakit. Sementara
itu, hasil quick count pun menjadi bahasan menarik saat ini. Bagaimana tidak?
Kedua kubu saling klaim kemenangan. Media massa optimis bahwa tidak ada
pergantian Presiden dalam hasil penghitungan cepat ini. Dalam kata lain masih
tetap dengan Presiden sebelumnya.
Kesimpulannya, pesta demokrasi yang digadang-gadang
menjadi harapan besar umat hari ini tidak terlepas dari permainan para pemilik
modal yang mengadopsi sistem kapitalis. Pemilihan pemimpin dalam demokrasi
berbiaya mahal, rentan kecurangan, menghalalkan segala cara, bahkan sampai menimbulkan
korban. Pemimpin dalam demokrasi menerapkan aturan buatan manusia, memimpin
secara berkala (5 tahun maksimal 2 periode), dan menerpakan pembagian kekuasaan
(trias politica produk Montesque). Dan sistem tersebut digunakan dalam negara
yang mayoritas muslim.
Islam sebagai agama dan aturan hidup, mengatur kehidupan
manusia dalam segala aspek kehidupan, tak terkecuali dalam pengaturan mekanisme
pemilihan kandidat. Pemimpin negara dalam Islam disebut sebagai Khalifah. Khalifah
dipilih oleh rakyat dengan bai’at (penyerahan urusan rakyat kepada Khalifah).
Akad antara rakyat dengan Khalifah bukanlah akad ijarah (jual beli) melainkan
akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu,
selama Khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, dia tidak
boleh diberhentikan. Bahkan, jika pun melakukan penyimpangan dan harus
diberhentikan, maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah
Mazalim. Sehingga, tidak ada batas waktu yang pasti kapan jabatan Khalifah akan
berakhir selama tidak ada pelanggaran hukum syara’. berbeda dengan pesta
demokrasi yang digelar setiap 5 tahun sekali yang menghabiskan dana besar.
Pemilihan
pemimpin dalam Islam melibatkan rakyat tetapi bukan untuk menjalankan kehendak
rakyat tetapi dipilih untuk menerapkan hukum syara’(Hukum Islam), maka dari itu
dalam kondisi saat ini hendaknya masyarakat mengerahkan seluruh potensi untuk
menjemput kemenangan Islam dengan ikut memperjuangkan Islam.
Komentar
Posting Komentar