ALIH FUNGSI LAHAN MENGANCAM KETAHANAN PANGAN
Oleh: Bella Dinar Lestari
Dilansir dari cnbcindonesia.com, data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan luas lahan baku sawah nasional 2018 hanya
sebesar 7,10 juta hektar. Jumlah tersebut menyusut apabila dibandingkan luas
pada lima tahun lalu yang tercatat 7,75 juta hektar. Terhitung dari tahun 1990,
luas lahan baku sawah nasional adalah 8,48 juta hektar, luasnya turun ke level
8,15 juta hektar. Kemudian pada 2009, luas lahan baku sawah nasional tercatat
8,1 juta hektar.
Dalam 14 tahun terakhir seluas 1 juta
hektar sawah menghilang.
Upaya untuk mencegah pengalihan fungsi
lahan pertanian dengan penetapan lahan abadi pun seakan hanya angin lalu. Pada
kenyataannya upaya ini belum mampu membendung arus pembangunan besar-besaran
oleh beberapa pihak terkait.
Di kabupaten Bandung saja, untuk
pembangunan tol Soroja menghabiskan sekitar 120 hektar lahan pertanian
produktif. Belum lagi pemprov jabar merencanakan reaktivasi 4 jalur kereta api
yang salah satunya adalah jalur Cikudapateuh-Banjaran-Ciwidey. Berdasarkan
rencana tata ruang wilayah, seluas 800 hektar lahan pertanian di kabupaten
bandung akan terkena dampak alih fungsi.
Lagi-lagi yang diuntungkan dari hal ini
adalah para kapitalis, yang berada dibalik layar pembuatan berbagai
infrastruktur di suatu wilayah. Di satu sisi, para pemimpin daerahpun tidak
dapat berbuat banyak untuk hal ini karena merasa diuntungkan, walaupun harus
mengorbankan lahan pertanian.
Jauh panggang dari api, impian Negara
ini untuk menjadi lumbung pangan dunia tentu akan sulit terwujud. Jangankan
untuk menjadi lumbung pangan dunia, untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional
saja belum mampu. Semakin tahun, luas
lahan pertanian semakin berkurang sedangkan jumlah populasi penduduk semakin
bertambah. Yang terjadi malah sebaliknya, Negara ini akan sangat bergantung
kepada impor pangan dari Negara lain. Jadi alih fungi lahan pertanian sangat
mengancam ketahan pangan.
Tentu, kita tidak bisa hanya sembunyi
dibalik kebutuhan pengembangan wilayah. Pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya
dipikirkan secara serius, karena menyangkut banyak perut yang harus diisi,
sehingga posisi permasalahannya sangat strategis. Sebuah Negara tidak boleh
bergantung pada impor pangan dari Negara lain. Ketergantungan ini dapat
mengakibatkan Negara akan mudah untuk dijajah dan dikuasai Negara lain.
Kunci terpenting dari permasalahan
kompleks ini ada ditangan pemerintah, baik daerah maupun pusat. Pemerintah
seharusnya bermental pemimpin yang menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya
tanpa harus merugikan rakyat. Saat ini, pemerintah lebih terlihat sebagai
pengusaha yang sibuk menjual aset-aset bangsa kepada para pemilik modal.
Islam sebagai agama yang sempurna, yang
menjadi pedoman kehidupan kita telah mengatur bagaimana seharusnya pengelolaan
lahan pertanian sesuai dengan syariat.
Misalnya dengan mendorong pembukaan
lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Rasulullah SAW,
sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda:
“Siapa
saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah
miliknya”. [HR. Bukhari,
Tirmidzi, dan Abu Dawud].
“Siapa
saja yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah ia
memberikan kepada saudarnya. Apabila ia mengabaikannya, hendaklah tanahya
diambil”. [HR
al-Bukhari dan Muslim].
Penataan distribusi kekayaan oleh Negara
harus dilaksanakan dalam keseluruhan sistemnya, mulai dari penentuan
kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan juga pendistribusiannya bagi
kemaslahatan warga negaranya. Dan terakhir, Negara tidak boleh tergantung
kepada Negara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya untuk menghindari
campur tangan asing terhadap kedaulatan Negara.
Sistem islam hanya dapat diterapkan oleh
institusi yang bernama Khilafah. Yang telah teruji dalam fakta sejarah dan
membawa berkah dunia-akhirat, insyaallah.
Maka belumkah kita yakin bahwa hanya
dengan melaksanakan aturan Allah Swt sajalah kesejahteraan rakyat akan
terjamin?? Wallahu a’lam bi ash shawab
Komentar
Posting Komentar