Freeport dalam Genggaman Islam
Oleh Supartini Gusniawati
PT
Indonesia Asahan Aluminium (Persero) pada Sabtu 28 Desember 2018 mengeluarkan
surat dengan nomor 930/L-Dirut/XII/2018 yang ditujukan kepada Pimpinan RUPS
Luar Biasa PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Salah satu poin dari surat itu berisi
perihal pemecatan Said Didu sebagai komisaris.
“Memberhentikan
dengan hormat nama-nama tersebut di bawah ini sebagai Anggota Dewan Komisaris PT Bukit Asam Tbk. Sdr. Muhammad Said Didu sebagai komisaris dengan alasan
karena sudah tidak sejalan dengan aspirasi dan kepentingan Pemegang Saham Dwi
Warna,” demikian bunyi poin nomor dua dikuti dalam surat yang dikeluarkan oleh
PT Indonesia Asaham Aluminium (Persero).
Menurut hemat penulis dari kejadian
tersebut, nyatalah system demokrasi yang mengagung-agungkan kebebasan
berpendapat runtuh dengan sendirinya. Selalu standar ganda yang dipakai, jika
pendapatnya sejalan dengan kepentingan mereka bahkan menguntungkan asing maka
akan didukung meskipun menyengsarakan pihak lain (baca rakyat) akan tetapi jika
mereka yang dirugikan mereka bungkam kemudian dipersekusi meskipun yang mereka bicarakan adalah sebuah
kebenaran.
Berbicara mengenai Freeport memang
tiada habisnya. Bagi pemerintah era Jokowi mungkin menjadi kebanggan dengan
mengakuisisi 51% saham namun berbeda dengan said didu yang memiliki pendapat
bahwa "Untuk
membeli 51% saham Freeport, Inalum sudah utang US$ 4 miliar. Lalu Inalum akan
pinjam lagi untuk membangun smelter dan tambang bawah tanah. Dengan kondisi
seperti ini, pada 2019 Inalum berpotensi mengalami kesulitan keuangan ( CNBC
Indonesia, Jumat (28/12/2018). Jika kondisi seperti ini, lanjut Said, ada
kemungkinan Inalum akan meminta porsi dividen yang lebih tinggi kepada anak
usaha seperti, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT
Timah Tbk (TINS). "Ujung-ujungnya, dividen untuk setoran ke negara
menjadi berkurang karena membayar utang.
Menurut Said, transaksi pembelian 51% saham tersebut cenderung
menguntungkan Freeport McMoRan. Apa saja yang keuntungan yang didapat Freeport,
Said menguraikan:
* Mendapatkan kepastian operasi hingga 2041
* Dapat uang tunai US$ 4 miliar dari penjulan 51% saham
* Mendapatkan kepastian pengelolaan tambang
* Mendapat Kepasatian pajak
* Denda atas kerusakan lingkungan hidup tidak dikenakan
Lantas bagaimana solusi terbaik untuk freeport?
Freeport adalah
milik umat yang allah titipkan di bumi pertiwi akan tetapi keadaannya menjadi
seolah-olah bukan milik umat karena telah di privatisasi sejak 40 tahun yang
lalu. Mengutip tulisan KH Hafizh Abdurrahman mengenai Freeport, beliau
memberikan pandangan bahwa Mengakhiri kontrak karya dengan Freeport bukan
masalah mengakhiri kontrak biasa, tetapi mengakiri kontrak karya dengan
perusahaan negara penjajah. Di sinilah masalahnya. Karena itu, sangat susah
dilakukan dengan cara biasa. Mereka juga akan melakukan berbagai cara untuk
mempertahankan keberadaannya. Karena itu, dibutuhkan dukungan rakyat dan umat.
Dukungan ini penting, karena tanpa itu, siapapun yang
berkuasa, termasuk khilafah sekalipun akan mengalami kesulitan untuk mengakhiri
masalah ini. Memang benar, bagi Khilafah sangat mudah mengambil langkah, jika
negeri ini sudah dibersihkan dari agen, kacung dan komprador negara penjajah.
Karena, solusinya dalam pandangan Islam sudah sangat jelas.
Betapa tidak, dengan tegas Nabi SAW menyebutkan, bahwa “Kaum
Muslim bersyarikat dalam tiga hal: air, padang dan api.” [HR Ahmad]. Karena
itu, status tambang ini jelas merupakan milik umum, dan harus dikembalikan ke
tangan umat [rakyat]. Dengan begitu, segala bentuk kesepakatan, termasuk
klausul perjanjian dengan PT Freeport, begitu khilafah berdiri dinyatakan
batal.
Perusahaan ini juga tidak harus dibubarkan, tetapi cukup
dibekukan sementara, dan diubah akadnya. Dengan demikian, statusnya pun
berubah, dari milik private menjadi milik publik dan negara. Selain bentuknya
menggunakan perseroan saham (PT terbuka), yang jelas diharamkan, dan harus
diubah, juga aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing
pemiliknya. Karena akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta
pokoknya saja. Sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka.
Karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram, maka status harta tersebut bukanlah hak milik mereka. Maka, harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka, ketika PT terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya, ketika perusahaan private tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan private. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya, tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya. Kecuali, harta pokok mereka.
Karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram, maka status harta tersebut bukanlah hak milik mereka. Maka, harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka, ketika PT terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya, ketika perusahaan private tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan private. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya, tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya. Kecuali, harta pokok mereka.
Dengan dinormalisasikannya kembali perusahaan publik dan
negara sesuai hukum Islam, negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak
pengelolanya. Dalam hal ini, negara bisa mengkaji, apakah bisa langsung
running, atau tidak, bergantung tingkat kepentingan perusahaan tersebut. Jika
sebelumnya perusahaan ini untung, maka keuntungannya bisa diparkir pada pos
harta haram. Karena, ini merupakan keuntungan dari PT terbuka, yang statusnya
haram. Selain itu, ini juga keuntungan yang didapatkan individu dari harta
milik publik dan negara. Setelah itu, keuntungan yang haram ini pun menjadi
halal di tangan khilafah, dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau
perusahaan milik negara atau publik yang lainnya.
Cara Mengesekusi
Cara Mengesekusi
Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan publik dan negara ini
juga menjadi sapi perah partai, penguasa dan antek-anteknya. Karena itu,
khilafah juga akan membersihkan mereka semua dari perusahaan publik dan negara
tersebut.
Mereka saat ini banyak yang duduk sebagai komisaris dan
direksi. Maka, dengan dinormalkannya perusahaan tersebut mengikuti hukum
syara’, jabatan komisaris dan direksi seperti saat ini tidak lagi ada. Dengan
begitu, mereka semua akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan publik dan
negara tersebut.
Harta yang mereka dapatkan dengan cara yang haram itu juga akan disita sebagai harta haram, yang bukan menjadi hak mereka. Setelah itu, dikembalikan ke kas negara, dan dimasukkan dalam pos harta haram. Khilafah juga bisa menelusuri aliran dana-dana yang dikuras dari perusahaan-perusahaan publik dan negara ini ke kantong-kantong pribadi, partai atau penguasa sebelumnya. Karena ini menyangkut harta, maka kebijakan yang salah di era mereka, terlebih menyangkut hak publik dan negara, bisa diusut dan dituntut.
Dalam hal ini, dengan tegas Nabi SAW telah menyatakan: “Siapa saja yang menanami tanah milik suatu kaum, tanpa kerelaannya, maka tidak berhak mendapatkan apapun dari tanaman tersebut. Dia hanya berhak mendapatkan biaya (yang telah dikeluarkannya)” (HR al-Bukhari dan Abu Dawud dari Rafi’ bin Khadij, hadits no. 3403). Meski konteks hadits ini terkait dengan tanah, pemanfaatan tanah tanpa izin, atau tidak mendapatkan kerelaan pemiliknya, tetapi hadits yang sama bisa digunakan sebagai dalil bagi kasus lain. Termasuk kasus yang telah disebutkan di atas.
Harta yang mereka dapatkan dengan cara yang haram itu juga akan disita sebagai harta haram, yang bukan menjadi hak mereka. Setelah itu, dikembalikan ke kas negara, dan dimasukkan dalam pos harta haram. Khilafah juga bisa menelusuri aliran dana-dana yang dikuras dari perusahaan-perusahaan publik dan negara ini ke kantong-kantong pribadi, partai atau penguasa sebelumnya. Karena ini menyangkut harta, maka kebijakan yang salah di era mereka, terlebih menyangkut hak publik dan negara, bisa diusut dan dituntut.
Dalam hal ini, dengan tegas Nabi SAW telah menyatakan: “Siapa saja yang menanami tanah milik suatu kaum, tanpa kerelaannya, maka tidak berhak mendapatkan apapun dari tanaman tersebut. Dia hanya berhak mendapatkan biaya (yang telah dikeluarkannya)” (HR al-Bukhari dan Abu Dawud dari Rafi’ bin Khadij, hadits no. 3403). Meski konteks hadits ini terkait dengan tanah, pemanfaatan tanah tanpa izin, atau tidak mendapatkan kerelaan pemiliknya, tetapi hadits yang sama bisa digunakan sebagai dalil bagi kasus lain. Termasuk kasus yang telah disebutkan di atas.
Maka, dengan cara seperti ini, seluruh aset umat ini akan
bisa dikembalikan kepada pemiliknya, baik kepada negara maupun publik. Dengan
alasan yang sama, apa yang telah mereka ambil dari keuntungan perusahaan
tersebut juga bisa diambil kembali, karena bukan merupakan hak mereka.
Begitulah, cara khilafah membersihkan perusahaan publik dan negara tersebut
dari partai, pejabat dan orang-orang korup tadi. Wallahu a’lam.[]
Komentar
Posting Komentar