SIAPA PEMIMPIN YANG BERANI MENERIMA TANTANGAN MENERAPKAN ALQUR'AN??
Oleh : Rengganis Santika
Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi polemik tes baca Alquran bagi capres dan cawapres.
Seperti biasanya, wacana seputar
pilpres, selalu menjadi isu menarik. Dan begitulah, wacana yang sebenarnya
biasa saja ini bergulir menjadi tak biasa ke tengah publik yang sudah
terpolarisasi panasnya tahun politik. Wacana tes baca Alquran ini jadi isu
hangat setelah "digoreng" -
terutama oleh kubu petahana - yang memanfaatkan untuk kepentingan politik
sesaat demi menarik simpati suara umat Islam. Ide ini muncul
bermula dari usulan para dai Aceh yang mengatakan sudah seyogyanya calon
pemimpin Muslim harus bisa membaca Alquran karena di wilayah Aceh sendiri,
calon kepala daerah wajib bisa membaca Alquran.
Rezim petahana melalui media TV mainstreamnya sengaja mem-blow up
usulan ini dengan menyatakan kesiapannya menghadapi tantangan, untuk makin
menjatuhkan kubu lawan yang mengatakan tidak perlu tes baca Alquran. Kubu timses
rezim seolah nampak ingin mendulang elektabilitas umat Islam dari wacana ini.
Aroma pencitraan menguat demi menutupi lubang-lubang kegagalannya. Timses
petahana berharap setelah memviralkan jagoannya menjadi imam sholat, berharap
"keberanian" menerima tantangan baca Alquran bisa menggenapi
"hebatnya" sang calon di mata publik. Namun, entahlah apa yang
terjadi, seiring waktu polemik ini mulai mengendur dengan "mundurnya"
kubu petahana dari tantangan.
Terlepas dari semua polemik diatas, apa sesungguhnya esensi Alquran
bagi seorang pemimpin? Kalau hanya sekedar berani menerima tantangan di tes
baca Alquran sesuai tajwid dan makhrojul hurufnya, rasanya emak-emak majelis
ta'lim di kampung atau bahkan anak-anak madrasah juga bisa. Jangan sampai
tantangan tes baca Alquran tak lebih sekedar sensasi kepentingan politik
praktis sesaat. Dan hal ini hanya akan makin menjauhkan dari keluhuran nilai
Alquran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang tidaklah salah mengusulkan tes baca Alquran bagi capres dan
cawapres. Namun, untuk selevel presiden yang akan memimpin sebuah negara besar,
tentu harus berbeda dengan level tes baca Alquran lulusan madrasah diniyah.
Apalagi bagi seorang pemimpin negara berpenduduk kurang lebih 250 juta jiwa
yang mayoritasnya adalah umat Islam dan merupakan negara Muslim terbesar di
dunia. Maka, bukan lagi masalah seberapa berani menghadapi tantangan tes
kemampuan baca Alquran, tapi lebih jauh lagi, seberapai berani menerima
tantangan untuk menerapkan Alquran bagi negara.
Subtansi Alquran bagi seorang pemimpin adalah kemampuan menjadikan
Alquran sebagai landasan dalam memimpin negara. Esensi dan kedudukan Alquran
bagi seorang kepala negara atau pemimpin yang menanggung amanah pengurusan
rakyat bukan hanya sekedar bisa membaca Alquran (walaupun mampu membaca adalah
kunci pertama untuk paham), namun pemimpin negeri Muslim harus memiliki
komitmen untuk menerapkan Alquran secara utuh.
Komitmen kesiapan seorang calon pemimpin untuk menjadikan Alquran
sebagai landasan bernegara, dalam kacamata Islam merupakan indikator kelayakan
seorang pemimpin untuk dipilih. Sehingga rakyat bisa menentukan dan memilih
pemimpinnya berdasarkan kriteria ini. Sebaliknya, dalan sistem
demokrasi-sekuler indikator kelayakan seorang pemimpin menjadi samar dan
mengikuti hawa nafsu manusia. Tak ada standar yang memberi jaminan kelayakan
paslon capres/cawapres karena standar layak tidaknya bisa berubah sesuai
perubahan jaman atau selera hawa nafsu rakyat yang senantiasa berubah-ubah.
Negeri besar ini selama 75 tahun dari sejak "merdeka" selalu tertipu
oleh kepemimpinan demokrasi sekuler. Sejarah negeri ini menunjukkan rakyat
sering terkecoh oleh standar pemimpin dalam demokrasi yang penuh tipu-tipu,
kepalsuan, dan modal pencitraan.
Sementara ketika Islam diterapkan secara menyeluruh (kaaffah) dalam
bingkai Khilafah yang menjadikan Alquran sebagai pijakannya, maka keadilan dan
kesejahteraan global (untuk semua bangsa, ras, dan agama) telah terwujud selama
lebih dari 13 abad. Hal ini bisa terjadi karena penerapan Alquran yang diturunkan
oleh Zat Yang Mahasempurna dengan keadilan yang tak terbantahkan. Alquran
memiliki karakteristik universal, selalu relevan dan visioner, sesuai dengan
perkembangan jaman apapun, termasuk era revolusi industri 4.0 saat ini dimana
Alquran memberi banyak gagasan (salah satunya model algoritma nerve system teknologi kecerdasan
buatan/artificial intelegence)
sekaligus juga Alquran memberi batasan agar teknologi tidak membawa pada
kemudharatan.
Rasulullah shalallaahu’alaihi wassalam pernah bertanya kepada Muadz
bin Jabal yang diutus oleh Nabi untuk menjadi wali di wilayah Mesir yang saat
itu mayoritas penduduknya beragama Nashrani, "Dengan apa engkau akan
memutuskan suatu perkara?” Muadz menjawab, “Dengan Alquran dan Sunnah Rasul”.
Kemudian tanya Rasul, “Bila tidak terdapat pada keduanya?” Muadz menjawab, “Aku
akan melakukan ijtihad dari keduanya". Rasulullah shalallaahu’alaihi
wassalam pun yakin pada Muadz dan berpesan agar berlaku adil (berdasarkan
Alquran). Sejarah mencatat keadilan terwujud di Mesir hingga Islam terus
berkembang.
Jadi bagi para capres/cawapres, Anda semua adalah seorang Muslim,
maka seberapa beranikah Anda menerapkan Alquran? Jika Anda berani, maka rakyat
pun siap mengamanahkan negeri dan dunia ini pada Anda. Kalau tak berani bahkan membacanya
pun tak berani, berarti negeri ini siap menanggung (lagi dan lagi) berbagai
kezaliman karena kepemimpinan sistem rusak buatan manusia. Lawan kezaliman
adalah keadilan, maka bila Anda memimpin dengan berlandaskan Alquran, berarti
Anda pemimpin yang adil. Anda adalah pemimpin yang dirindukan surga.
Sebaliknya, bila Anda zalim karena berhukum pada thagut yaitu demokrasi,
siapkah Anda dengan azab Allah karena berpaling dari Alquran (QS.Al-Maidah :
49)? Wallahu'alam bishshawab.[]
Komentar
Posting Komentar