Kisruh MBG: Bukti Gagalnya Sistem Kapitalisme Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Oleh: Iyatia Yulian

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan sebagai simbol kepedulian negara terhadap gizi pelajar dan upaya menurunkan angka stunting. Dengan anggaran besar dan klaim manfaat yang menggiurkan—meningkatkan kehadiran sekolah, membuka lapangan kerja, menyerap produk lokal—MBG dipromosikan sebagai investasi terbaik bagi masa depan bangsa. Namun, realitas di lapangan justru menampilkan potret yang jauh berbeda dari narasi resmi.


Sejak digulirkan, berbagai kasus keracunan makanan terjadi di sejumlah daerah dengan ribuan siswa terdampak. Laporan masyarakat dan pemantau pendidikan menunjukkan adanya tekanan kepada pihak sekolah untuk tidak membesar-besarkan kasus dan menandatangani pernyataan yang meredam fakta. Pada saat yang sama, serapan anggaran belum maksimal, sementara alokasi untuk MBG menggerus porsi belanja pendidikan lain yang tak kalah penting—seperti beasiswa, peningkatan mutu guru, riset, dan infrastruktur. Klaim keberhasilan 99,9% terasa menyinggung akal sehat ketika nyawa dan kesehatan anak-anak direduksi menjadi “angka kecil” yang bisa diabaikan.


Kisruh ini tidak berdiri sendiri. Skema pelaksanaan MBG membuka ruang konflik kepentingan: penunjukan mitra dapur umum dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tidak transparan, keterlibatan yayasan dan badan yang berafiliasi dengan kekuatan politik, hingga kebutuhan modal besar yang secara praktis hanya sanggup dipenuhi oleh korporasi atau kelompok bermodal. Di lapangan, muncul kesaksian bahwa untuk melayani ribuan porsi per hari, modal yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Artinya, program yang diklaim “untuk rakyat” pada praktiknya lebih menguntungkan pemain besar, sementara rakyat kecil hanya menjadi tenaga kerja atau objek program.


Dalam konteks ini, MBG semakin tampak sebagai program populis berparadigma proyek: menonjol di angka dan pencitraan, rapuh di kualitas dan keadilan. Fokus diarahkan pada kuantitas porsi dan perluasan sebaran, bukan jaminan keamanan pangan, standar gizi yang layak, tata kelola yang bersih, dan keberlanjutan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Ketika logika bisnis dan kepentingan politik menunggangi program publik, maka risiko bahaya kesehatan, korupsi, dan pemborosan anggaran menjadi konsekuensi yang melekat.


Akar persoalannya bersifat paradigmatis. Sistem politik demokrasi kapitalistik menempatkan kekuasaan sebagai hasil transaksi modal, bukan amanah. Kebijakan dirancang bukan semata untuk memenuhi hak rakyat, tetapi untuk menjaga dukungan politik dan mengalirkan keuntungan bagi jaringan kepentingan. Negara berperan sebagai regulator dan fasilitator pasar, bukan penanggung jawab langsung kebutuhan dasar. Dalam paradigma ini, yang diutamakan adalah efisiensi biaya, jangkauan proyek, dan keberlanjutan aliran keuntungan, sementara aspek halal-haram, keadilan distribusi, dan perlindungan nyawa sering tersisih.


Program seperti MBG akhirnya tampil sebagai “produk kebijakan” yang melekatkan branding peduli rakyat, namun dalam banyak sisi mengikuti logika industrialisasi pangan: penyediaan massal, dominasi korporasi, tekanan pada biaya produksi, kompromi pada kualitas. Selama tolok ukurnya adalah angka dan keuntungan, bukan keselamatan dan kemaslahatan, maka potensi lahirnya korban akan terus terbuka. Kisruh MBG bukan anomali, melainkan cermin dari karakter dasar sistem yang menjadikan materi sebagai ukuran utama.


Berbeda dengan itu, Islam memiliki paradigma yang sangat jelas dalam memandang gizi dan kesejahteraan rakyat. Pemenuhan gizi bukan proyek politis, tetapi bagian dari kewajiban syar’i negara sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi seluruh rakyat. Setiap individu, tanpa kecuali, berhak hidup layak, sehat, dan terbebas dari ancaman kelaparan. Negara berkewajiban memastikan kebutuhan dasar—termasuk pangan bergizi—terpenuhi melalui mekanisme yang terstruktur, bukan sekadar bantuan sesaat.


Dalam pandangan Islam, gizi terkait langsung dengan pembangunan generasi. Anak yang sehat, kuat, dan cerdas adalah calon penjaga agama, ilmu, dan peradaban. Karena itu, negara Islam tidak memandang pemenuhan gizi sebagai instrumen pencitraan, melainkan bagian dari proyek jangka panjang melahirkan generasi unggul. Mekanisme yang ditempuh pun menyeluruh: menguatkan keluarga sebagai penanggung nafkah, menyediakan lapangan kerja, menjaga harga pangan tetap terjangkau, melarang monopoli dan penimbunan, serta memastikan distribusi merata.


Jika keluarga tidak mampu, Islam menetapkan tanggung jawab berjenjang: kerabat terdekat, masyarakat, lalu negara. Negara tidak boleh membiarkan satu pun rakyatnya kelaparan. Inilah jaminan sistemik yang tidak dimiliki kapitalisme. Dalam sejarah, para khalifah seperti Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz tidak hanya mengeluarkan kebijakan, tetapi terjun langsung memastikan rakyatnya mendapatkan makanan yang layak. Di masa Kekhalifahan Utsmaniyah, imaret-imaret (dapur umum wakaf) bertahan ratusan tahun memberi makan masyarakat, pelajar, musafir, dan fakir miskin—tanpa skandal proyek, tanpa keracunan massal, tanpa permainan kartel.


Secara keuangan, sistem Islam bertumpu pada baitulmal dengan sumber yang jelas dan halal: kharaj, jizyah, fai’, ghanimah, dan pengelolaan langsung kekayaan umum seperti tambang, energi, dan sumber daya alam. Pos ini cukup untuk membiayai layanan publik dasar, termasuk pangan, pendidikan, dan kesehatan, tanpa perlu bergantung pada utang ribawi, kongsi korporasi, atau pajak yang menjerat rakyat. Politik anggaran diarahkan untuk memenuhi hajat hidup rakyat terlebih dahulu, bukan proyek mercusuar atau kepentingan elite.


Kisruh MBG membuka tabir bahwa sistem hari ini tidak hanya lemah secara teknis, tapi cacat secara paradigma. Selama kebijakan publik dikendalikan logika kapitalisme, rakyat akan terus berada pada posisi rentan: dijadikan objek proyek, bukan subjek yang dilindungi. Islam menawarkan jalan berbeda: negara yang sungguh-sungguh mengurus, sistem ekonomi yang melindungi, dan mekanisme yang terbukti mampu mencegah kelaparan tanpa harus menjual kedaulatan dan mempertaruhkan nyawa generasi.


Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter