Perang Sudan, Bencana yang Terlupakan
Oleh :Eli Maryati
Belum berhenti darah menetes di Gaza, kini dunia kembali menyaksikan tragedi kemanusiaan lain. Pada 26 Oktober 2025, Al-Fashir, ibu kota negara bagian Darfur Utara, Sudan Barat, menjadi saksi pembantaian mengerikan. Sekitar 2.000 warga sipil tewas, dan lebih dari 12 juta orang terpaksa mengungsi. Banyak perempuan diperkosa sebelum akhirnya dibunuh bersama anak-anak mereka. Para laki-laki, baik tua maupun muda, disiksa dengan kejam — digantung di tempat umum, lalu dieksekusi secara massal. Dalam masa pengungsian, penduduk dibiarkan kelaparan hingga bertahan hidup dengan memakan pakan ternak. PBB menyebut tragedi ini sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia.
Sudan merupakan salah satu negara terbesar di benua Afrika, dengan banyak fakta menarik yang jarang diketahui publik.
Pertama, bahasa resmi Sudan adalah bahasa Arab, menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kedua, Sudan memiliki piramida lebih banyak dan Sungai Nil yang lebih panjang dibanding Mesir.
Ketiga, negara ini termasuk penghasil emas terbesar di dunia Arab dan kaya sumber daya alam seperti minyak bumi, gas alam, serta berbagai mineral. Sudan juga memiliki lahan pertanian subur dengan potensi besar di sektor pangan—seperti kapas, wijen, sorgum, dan milet—hingga pernah dijuluki “Keranjang Makanan Afrika” (Bread Basket of Africa).
Namun ironisnya, Sudan justru terjebak dalam krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Lebih dari 30 juta penduduknya membutuhkan bantuan berupa layanan kesehatan, pangan, dan dukungan kemanusiaan lainnya.
Akar krisis di Sudan sejatinya telah muncul sejak lama, tepatnya ketika Inggris dan Mesir menguasai wilayah ini dan membentuk pemerintahan bersama sekitar tahun 1899. Konflik yang terjadi bukan semata-mata persoalan etnis, sebagaimana sering digambarkan media, tetapi melibatkan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang bekerja sama dengan negara boneka seperti Zionis Israel dan Uni Emirat Arab. Tujuannya tidak lain adalah perebutan pengaruh politik dan eksploitasi sumber daya alam dalam proyek “Timur Tengah Baru” yang didorong Barat. Sudan pun dijadikan ajang permainan kekuatan global—sebagaimana yang terjadi pula di berbagai negeri Muslim Afrika lainnya.
Inilah potret getir umat Islam yang hidup di bawah cengkeraman sistem sekuler kapitalis global. Lembaga-lembaga internasional dan berbagai aturan dunia dibentuk dalam bingkai kepentingan untuk melanggengkan hegemoni negara adidaya atas negeri-negeri Muslim. Kaum Muslim pun dijauhkan dari identitas Islam yang sejatinya merupakan sumber kemuliaan dan kebangkitan. Bahkan mereka dicekoki narasi bahwa Islam adalah penyebab penderitaan dan perpecahan.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa posisi mereka tidak akan berubah tanpa kembali kepada ajaran Islam secara menyeluruh. Umat perlu meningkatkan cara pandang ideologis agar mampu membaca problematika dunia secara mendalam. Perang peradaban antara Islam dan ideologi non-Islam adalah kenyataan yang tak terelakkan. Satu-satunya solusi untuk menyelamatkan saudara-saudara kita—baik di Gaza, Palestina, Sudan, India, Rohingya, Uighur, dan tempat lainnya—adalah dengan bersatu di bawah kepemimpinan global, yakni Khilafah Islamiyyah.
Sistem Islam (Khilafah) adalah janji Allah yang pasti akan tegak, namun harus diperjuangkan oleh seluruh umat dengan dorongan iman, bukan kepentingan pribadi atau kelompok. Hanya dengan itulah akan terwujud rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Komentar
Posting Komentar