Amburadul Tata Kelola Pangan, Rakyat yang Jadi Korban


Oleh Lika Rosliana, S.Si

            Miris. Kata itu tidak cukup menggambarkan fenomena ketimpangan tata kelola pangan di Indonesia. Bagaimana tidak? akhir November kemarin beredar informasi bahwa Bulog (Badan Urusan Logistik) akan memusnahkan sebanyak 20 ribu ton beras senilai Rp160 miliar rupiah. Seperti yang dilansir laman berita cnnindonesia.com, Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras yang usia penyimpanannya sudah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu, maka beras harus dibuang atau dimusnahkan. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar di tengah kondisi kelaparan yang masih menjangkiti 22 juta penduduk Indonesia dalan kurun waktu 2016-2018, bagaimana peran pendistribusian beras ini dan mekanisme kebijakan pemerintah yang mengaturnya? Sehingga dalam kondisi cadangan beras yang surplus masih ditemukan fakta kelaparan di tengah masyarakat.
            Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman menyatakan jika terdapat masalah penumpukan beras artinya selama ini proses distribusi beras belum terlaksana dengan baik. Seharusnya Bulog bisa mengukur berapa suplai masuk, berapa permintaan, dan kapasitas gudang baik, sehingga beras bisa terdistribusikan dan mencegah tumpukan-tumpukan beras yang membusuk. Menurutnya, perlu ada perbaikan dan peningkatan skema distribusi sehingga tidak terjadi penumpukan dan pembusukan. Sangat disayangkan jika ribuan ton beras busuk dan tidak bisa digunakan kembali, sementara masih banyak masyarakat yang membutuhkan. 
Hal senada juga dilontarkan Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso yang menduga ada masalah dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah. Sebab, jumlah beras yang turun mutu (disposal) harusnya bisa ditekan jika penyaluran berjalan dengan baik. Hingga saat ini, performa penyaluran beras Bulog di pasaran hanya menyentuh 3-4 ribu ton dari target 15 ribu ton per hari. Padahal menurutnya, kebutuhan beras masyarakat sebenarnya masih tinggi. Ia justru mempertanyakan mengapa kebutuhan tersebut justru dipenuhi oleh perusahaan swasta ketimbang Bulog.
Alasan lain yang menyebabkan terjadinya penumpukan beras di gudang Bulog adalah kebijakan pemerintah yang mengurangi pagu Rastra (Beras Sejahtera) karena diintegrasikan menjadi program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Dimana sistem BPNT tersebut melalui mekanisme e-warung yang dikelola oleh para penerima Program Keluarga Harapan (PKH) mayoritasnya tidak mengambil beras dari Bulog karena masalah kualitas.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) juga menyatakan bahwa saat ini pasar pangan di Indonesia hampir 100% dikuasai oleh kegiatan kartel atau monopoli. Menurutnya, produk-produk pangan Bulog saat ini hanya mengusai pasar sebesar 6% sedangkan sisanya 94% dikuasai oleh kartel. Hal ini tentu merugikan masyarakat karena masyarakat harus mengakses kebutuhan pangan dengan harga tinggi dan harus berhadapan dengan ketidakstabilan harga pasar karena mafia perdagangan memainkan harga kebutuhan pokok dipasaran untuk keuntungan mereka. Adanya praktek monopoli, mafia dan kartel pangan bukan hal asing lagi. Dalam wawancara ekklusif Budi Waseso bersama detik.com, adanya kartel pangan ini seolah-olah dipelihara oleh oknum pemegang kebijakan karena adanya bagi-bagi kepentingan dan keuntungan. Bulog sendiri menghadapi tantangan ketika dihadapkan dengan kartel pangan ini, karena minimnya permodalan dalam menyerap kebutuhan pangan nasional (utamanya beras ) dari para petani dan pendistribusiannya.
            Hal ini tentunya  kontradiktif dengan upaya yang dilakukan Kementrian Perdagangan yang terus menerus menggenjot impor beras padahal stok beras nasional masih memadai. Adanya disharmoni, minimnya komunikasi, dan kurangnya koordinasi terlihat dalam kebijakan impor pangan antara Kementrian Perdagangan, Kementrian Pertanian, dan Bulog. Dirut Bulog Budi Waseso menyayangkan upaya Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito yang melakukan impor beras pada tahun 2018 lalu sebanyak 2 juta ton yang dirasa tidak perlu karena stok beras masih mencukupi. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman yang menyatakan pasokan beras dalam negeri lebih dari cukup, dilihat dari pasokan beras yang ada di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) yang angkanya 2 kali lipat dari batas aman pasokan beras. Ditambah saat ini, beras yang diimpor oleh Perum Bulog masih berada di gudang. Sehingga beras tersebut disiapkan sebagai cadangan sehingga belum keluar ke pasaran.
            Mencermati realita ini, nampak amburadulnya birokrasi dan struktur kerja antar institusi pemerintah dalam tata kelola pangan nasional. Hal ini memperlihatkan masing-masing jawatan bekerja tanpa visi bersama layaknya sebuah tim yang solid. Para pemegang kebijakan seolah menihilkan peran dasar mereka dalam melayani kepentingan umat. Padahal dalam islam, urusan bahan pokok merupakan kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara, negara besar dan agraris seperti Indonesia terlihat aneh jika masih bergantung pada keperluan impor. Pengelolaan ketersediaan pangan, utamanya beras merupakan bagian dari upaya mencapai target periodik yang terukur dan terencana. Kebijakan yang salah kaprah dan rumitnya birokrasi menunjukkan kepentingan rakyat bukan sebagai tujuan mereka berada dalam kursi pemerintahan.
Hal ini juga membuktikan, adanya individualisme dalam kerangka kerja sistem kapitalisme yang  telah sedemikian akut menjangkiti cara kerja para pejabat negara. Akibatnya, tiap lembaga negara nampak seperti bekerja sendiri-sendiri. Mereka mempermainkan hajat hidup rakyat, menyesampingkan derita rayat yang dijangkiti kasus kelaparan dan sulitnya mendapatkan akses kebutuhan pangan, serta dihadapkan pada kebutuhan bahan pokok yang meroket. Di saat yang sama para pejabatnya juga mudah tergiur nominal fee maupun komisi demi menebalnya kantong pribadi. Sungguh, tata kelola pangan yang salah kaprah telah menjadikan rakyat sebagai korban. Wallahu’alam bishawab. []

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter