Ketika Air Menjadi “Lahan Basah" Penguasa Pengusaha



Penulis: Rengganis Santika
         Masih ingat petikan syair lagu Bengawan Solo? "Air mengalir sampai jaauuh...", Ya, spirit lagu Bengawan Solo menggambarkan peran penting sungai sebagai sumber daya air. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Oleh sebab itu, air harus mengalir jauh sampai ke seluruh pelosok wilayah, untuk memenuhi hajat hidup seluruh masyarakat sehari-hari. Air sebagai kebutuhan vital, idealnya harus mudah didapat dan dengan kualitas yang baik, tanpa harus membayar (gratis), karena Allah SWT sudah menyiapkan dan menitipkan pada alam untuk menyediakan air bagi makhluk Nya.

        Alam hanya menghendaki kita menjaga sumber daya air tanpa mengeksploitasinya secara berlebihan. Tanpa air, kehidupan bisa terganggu. Air adalah hak milik semua makhluk. Di era rezim ini, Indonesia tidak hanya mengalami krisis air bersih, namun sudah pada level darurat air bersih.  Indonesia merupakan negara kedua paling buncit yang terburuk dalam sanitasi di antara negara G20, sementara masalah air bersih merupakan hal yang paling mempengaruhi kualitas sanitasi.
          Begitu urgennya air, sampai-sampai masyarakat tak lagi melihat soal harga dan kualitas air. Masyarakat akan selalu mengupayakan mendapatkannya. Akan tetapi kondisi ini justru dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk meraih untung. Dalam sistem kapitalisme neoliberalisme yang dianut negeri ini, air mengalir sampai ke kantong penguasa dan pengusaha. Air menjadi “lahan basah" bagi pundi-pundi harta mereka. Hajat hidup orang banyak justru jadi sumber pendapatan yang menggiurkan.
          Realitas ini barangkali sesuai dengan apa yang dikemukakan Wapres Ma'ruf Amin, terkait pemenuhan kebutuhan air, dalam Konferensi Sanitasi dan Air Minum (KSAM), di Jakarta, Wapres mengatakan bahwa fakta Perusahaan Daerah Air minum (PDAM) yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Banyak yang merugi karena tarif layanan air bersih yang rendah. Wapres menyebut kenapa PDAM DKI jakarta merugi karena tarif layanan yang rendah hanya Rp. 7000/meter kubik. Apalagi di Bogor Rp 4500/meter kubik, nilai tersebut dinilai wapres tidak memenuhi harga standar air bersih yang sesuai dengan biaya penyediaan atau dibawah tarif full cost recovery, sehingga kerugian bisa mencapai 40%. Dari pernyataan ini saja jelas menunjukkan bahwa, air yang hakekatnya adalah hajat hidup orang banyak, hak setiap rakyat telah dikapitalisasi, dengan mekanisme jual beli. Dalam hal ini negara menjalankan fungsi sebagai penjual dan rakyat adalah pembeli.
         Paradigma untung rugi adalah ciri khas neolib. Bagi neolib negara ibarat sebuah perusahaan. Negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung/junnah warganya malah mencari untung dari rakyatnya yang kesulitan. Kasus PDAM yang merugi, seperti Tirto Malem di Tanah Karo atau PDAM Tirta Raharja di Kabupaten Bandung yang justru meraih untung, menunjukkan bahwa posisi penguasa (Pemda setempat) bekerjasama dengan swasta, hadir bukan sekedar melayani kebutuhan air yang menjadi kewajibannya sebagai pelayan masyarakat. Namun malah menjadi ajang bisnis, air dikomersilkan dengan orientasi  mencari laba sebesar-besarnya.
         Lalu, bagaimanakah sudut pandang yang benar terkait tata kelola air? Tentu saja, sudut pandang yang datang dari Sang Pencipta alam semesta, Allah SWT yang menurunkan risalah Islam yang termaktub secara jelas dan rinci di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadits, Rasululloh saw pernah bersabda, “Kaum muslim (manusia) berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadits shahih ini menunjukkan bahwa manusia sangat tergantung pada keberadaan tiga hal tersebut. Khususnya air yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, sumber daya alam, air dan energi adalah hak milik umum (semua individu rakyat), artinya tidak boleh ada salah satu pihak yang menguasainya bahkan mengambil untung seraya merugikan masyarakat lain.
         Di sisi lain, keberadaan perusahaan air minum kemasan yang kian marak, juga malah dibiarkan beroperasi dengan leluasa, menguasai deposit air sehingga merugikan masyarakat setempat. Sebut saja perusahaan yang memproduksi Aqua, yaitu Danone yang banyak merugikan, sehingga ketersediaan sumber air bagi masyarakat makin berkurang. Tak sebanding dengan kompensasinya bagi masyarakat, bahkan perusahaan ini mangkir pajak selama puluhan tahun beroperasi. Truk-truk tronton yang hilir mudik dari perusahaannya dinilai paling berkontribusi terhadap kemacetan dan kerusakan jalan. Belum ada regulasi konkrit apalagi sanksi tegas atas penggunaan air ini terutama bagi swasta yang menghisap air tanah dengan kapasitas  begitu besar.
              Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah pencemaran air yang berlangsung masif. Baik pencemaran air tanah dalam maupun air permukaan seperti sungai dan danau (situ). Akhirnya, air terutama di musim kemarau menjadi kebutuhan pokok yang mahal, namun masyarakat tak punya pilihan tetap harus mendapatkannya sekalipun mahal. Pemerintah sebagai pengemban tanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan pokok warganya, dalam hal ini air bersih, memang sudah seharusnya dan wajib memberikan pelayanan yang terbaik. Islam memerintahkan Negara mengelola harta publik dan memenuhi layanan publik tanpa boleh mengambil untung sedikitpun
         Peran negara sebagai peri'ayah (pengatur) urusan rakyatnya wajib memastikan tata kelola air dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, bukan sebaliknya malah menjadikan pelayanan hajat hidup publik berorientasi meraup untung besar. Islam tegas melarang hajat publik dikomersialisasi apalagi diserahkan pada swasta. Jadi, haram hukumnya memperjualbelikan air. Status perusahaan daerah yang berorientasi laba harus dihapus. Rakyat saat ini masih terbebani biaya-biaya atas semua kebutuhan pokok seperti TDL, pangan dan kesehatan. Terbukti rezim saat ini telah gagal menyejahterakan rakyat, malah produk kebijakannya membebani rakyat. Kesengsaraan rakyat karena komersialisasi layanan publik adalah watak melekat dalam sistem kapitalisme neolib.
         Kita harus membuka mata, bagaimana fakta sejarah ketika syariat islam ditegakkan dalam mengatur manusia di muka bumi ini dalam bingkai Khilafah. Seperti di Tunisia pada masa kekhalifahan Abbasiyah, negara membangun bendungan guna memenuhi kebutuhan rakyat untuk pertanian dan rumah tangga. Sampai saat ini, bendungan yang usianya sudah lebih dari 600 tahun tetap kokoh berdiri. Demikian pula di Mesir yang membendung sungai Nil. Begitulah komitmen negara dalam menjamin kebutuhan warganya sesuai amanah syariat. Wallohu'alam.




Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter