CPNS, LGBT, dan Rezim Korporatokrasi


Oleh Ummu Alzam

Pendaftaran CPNS 2019 telah berlalu, para pendaftar tinggal menunggu hasil seleksi administrasi. Namun, ada yang menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah masyarakat mengenai CPNS dan LGBT. Keduanya mencuat terkait  dengan persyaratan khusus dalam penerimaan Kementerian Perdagangan dan Kejaksaan Agung. Keduanya menuangkan syarat pelamar tak memiliki “kelainan orientasi seks dan tidak kelainan perilaku (transgender)”. Kejaksaan Agung mengaku memiliki landasan hukum terkait larangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender ( LGBT) mengikuti seleksi pegawai negeri sipil (CPNS) 2019 di institusinya. Ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 23 Tahun 2019 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS 2019. "Itu yang memberikan kewenangan pada institusi kementerian/lembaga untuk menentukan syarat tersendiri yang bersifat karakteristik," ucap Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Mukri kepada Kompas.com, Selasa (26/11/2019).
Sikap tegas ini ditentang oleh beragam partai  meskipun akhirnya mereka memberikan klarifikasi bahwa mereka tidak mendukung LGBT. Cuitan akun Gerindra misalnya, akun Twitter resmi Gerindra pada Kamis, 28 November 2019 mencuit soal keputusan penolakan Kejaksaan Agung terhadap CPNS dengan orientasi seksual LGBT. Dalam cuitan selanjutnya, kaum LGBT seharusnya tetap berhak mendapatkan semua haknya sebagai warga negara. Akibat cuitan ini, netizen pun merespons dan mem-bully. Sebagian dari netizen pun menduga cuitan itu sikap resmi dari Gerindra. Usai cuitan itu, sejumlah elite petinggi Gerindra seperti Wakil Ketua Umum Fadli Zon menegaskan partainya sama sekali tak mendukung LGBT. Bahkan kata Fadli, Gerindra juga menolak kampanye LGBT.
Bahkan pimpinan partai Islam, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, di beberapa media beredar berita yang memuat penjelasan Sekjen PPP terkait dengan larangan orang dengan status LGBT sebagai diskriminasi. Bahkan kata Arsul, ada yang memberi judul "Politikus PPP tidak terima LGBT jadi PNS Kejaksaan Agung". Menurutnya pemberitaan ini merupakan framing dan pemelintiran apa yang disampaikannya, Kamis (21/11/2019), di Kompleks DPR/MPR.
Karena memang beberapa pihak menyebutnya sebagai diskriminasi hingga mengecam keputusan ini dan menganggap regulasi yg ada diskriminatif, tidak bertransformasi dg perubahan tipologi masyarakat. Persyaratan rekrutmen yang tidak menerima LGBT adalah persyaratan yang irelevan dan diskriminatif. Sebab, merekrut dan menempatkan seseorang ke dalam fungsi kerja tertentu harusnya dinilai berdasarkan kompetensi,Tegas Ricky (Ketua LBH Masyarakat)  kepada reporter tawan Tirto.com. “LGBT adalah perihal orientasi seksual dan identitas gender, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kompetensi atau kapasitas seseorang. Menolak seseorang diterima kerja hanya karena berdasarkan orientasi seksual atau identitas gendernya adalah wujud diskriminasi langsung,” lanjutnya. Kemudian, mencantumkan syarat yang menolak LGBT hanya akan melanggengkan stigma dan diskriminasi terhadap individu dari kelompok LGBT, dan semakin mengucilkan mereka dari peluang sosial ekonomi, ruang interaksi antar sesama manusia, serta menghalangi perkembangan kapasitas mereka.
Berdasarkan Seri Monitor dan Dokumentasi 2019 yang dirilis oleh LBH Masyarakat, salah satu bentuk diskriminasi kepada LGBT yang tercatat yakni diskriminasi untuk mendapatan hak pekerjaan. Padahal dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2) jelas tertulis, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan”. Tak hanya itu, hak atas pekerjaan pun merupakan hak dasar yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 38 ayat (1) sampai ayat (4) yang mengatur tentang hak-hak semua manusia atas pekerjaan. Pelarangan transgender untuk ikut dalam seleksi CPNS ini juga telah melanggar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahaan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam aturan tersebut, negara telah mengakui hak untuk bekerja kepada setiap orang dan memperkenankan setiap orang untuk bebas memilih pekerjaan yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). Diskriminasi LGBT Memengaruhi Ekonomi.  Lini Zurlia, advokat di ASEAN SOGIE Caucus, menilai pengecualian yang dilampirkan kedua lembaga pemerintah tersebut dalam syarat CPNS, tak lain merupakan bentuk diskriminasi dan pengukuhan stigma masyarakat terhadap kelompok LGBT. “Tentu saja, ini adalah tindakan diskriminatif. Selain pada kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender, tapi juga kepada kelompok disabilitas,” tegasnya.
Pernyataan Lini itu setelah melihat adanya aturan bahwa pelamar tidak boleh buta warna, cacat fisik maupun mental. Melihat syarat tersebut, Lini pun menilai bahwa bentuk pendekatan yang dilakukan negara terhadap kelompok yang termarjinal dan dimarjinalkan pun malah berupa “pengasingan”, “pengecualian”, hingga “peliyanan”. “Sehingga ketika pendekatan itu yang diambil, negara sebenarnya tidak mengatasi masalah, melainkan mempertajam permasalahannya 5 tahun ke depan,” tegas Lini. “Selama ini negara semacam mengeluh kenapa kelompok waria kok rata-rata jadi pekerja seks. Loh gimana gak jadi pekerja seks, wong sekolah saja dikeluarkan, gak lulus, lalu kalaupun bertahan sampai lulus dan mau melamar pekerjaan formal serupa PNS, juga tidak diperbolehkan,” pungkasnya.
Jika kita perhatikan dengan lebih seksama, polemik yang terjadi adalah akibat dari penerapan system kapitalisme dan semuanya saling berkaitan. Dan inilah bukti kerusakan system Kapitalisme. Pada satu sisi  Moralitas diabaikan, agama dibuang dari praktik kehidupan. Pada sisi yang lain, mereka menggembargemborkan kesetaraan dan Hak Azasi Manusia untuk meraih kesejahteraan. Namun ternyata, dibalik semua itu system ini tidak lain hanya mengutamakan  kepentingan bisnis para pengusaha kelas kakap dan elit politiknya, bagaimanapun caranya. Terlihat dari kejadian ini, meski secara norma LGBT adalah sesuatu yang ditolak oleh masyarakat namun dengan slogan kesetaraan dan HAM dijadikan  tameng utama oleh Negara untuk melindungi (baca : memelihara)  mereka. Sehingga tidak heran ketika akhirnya Negara menetapkan  untuk pegawainya sendiri anti LGBT, maka pihak-pihak yang mendukung LGBT dan kepentingan bisnisnya sontak bereaksi menolak keputusan ini.
Kotor tak mau bersih tak bisa. Itulah yang terbayang dalam benak saya ketika menulis tulisan ini. Negara ingin pegawainya bersih dari penyimpangan perilaku seksual,  misalnya Kejaksaan Agung. Karena profesi jaksa memiliki karakteristiknya sendiri, yang harus profesional, tangguh, dan sigap. Hal itu ditambah dengan kewenangan jaksa dalam hal penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi. Kejagung khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan apabila jaksa memiliki "perbedaan" itu. "Di setiap hari-harinya dia bergelut dengan para tahanan, para terpidana, yang notabene berada dalam kekuasaannya. Ketika seorang jaksa mempunyai 'kelainan', kemungkinan akan terjadi hal yang tidak diinginkan.  Selain itu, Mukri juga mengungkapkan bahwa Kejaksaan Agung memiliki peraturan internal terkait ketentuan tersebut. Akan tetapi, bersih pun Negara tak bisa. Karena ada pihak-pihak yang merasa terggangu dengan kepentingannya. Maka apalagi yang diharapkan dari system kapitalis ini?
Sebaliknya Islam menjadikan akidah sebagai dasar/pijakan  pengaturan seluruh kehidupan manusia.  Sehingga menuntunnya menjadi Negara penjaga moralitas. Bukan sekedar kompetensi yang diperhatikan melainkan individu yang memiliki akidah yang benar, ibadah yang benar, muamalah yang sesuai syariah dan tentunya akhlak yang baik menurut syariah.  Tentu untuk melahirkan individu semacam ini, Negara harus  menerapkan aturan islam sebagai pijakan/ukuran baik-buruk yang harus diadopsi oleh semua pihak dan pemberlakuannya secara sempurna menjamin terwujudnya  persamaan hak dan keadilan. Misalnya, dalam masalah calon pegawai (yang tidak memangku kebijakan Negara), dalam system islam (dikutip dari kitab Aj Hizah/struktur negara khilafah), setiap orang yang memiliki kewarganeganegaraan dan memenuhi kualifikasi kompetensi maka dia boleh menjadi pegawai Negara. Baik muslim ataupun non muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, baik disabilitas ataupun non disabilitas. Semua itu karena, posisi mereka hanyalah sebagai pegawai yang nantinya Negara akan meng-ajir-nya (menggajinya). Namun tidak untuk LGBT, karena LGBT sendiri merupakan kemaksiatan yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum syara. Berbeda dengan posisi yang memangku kebijakan Negara, maka untuk hal tersebut ada criteria-kriteria tertentu. Sehingga Negara mempunyai wibawa dan karakteristik yang khas, karena tidak akan terjadi ketimpangan seperti halnya nasib negeri muslim yang menerapkan system kapitalisme.
Negara islam bukanlah Negara corporate, yang hanya mementingkan bisnis semata. Melainkan Negara islam adalah Negara yang mewujudkan setiap hukum-hukum islam menjadi nyata sebagai aturan kehidupan kita baik secara individu, lingkungan/masyarakat maupun kehidupan bernegara. Terwujudnya hak dan keadilan semata-mata karena keserasian penerapan hukum islam disemua pihak.
Wallahu a’lam

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter