Benarkah Masyarakat Puas terhadap Kinerja Pemerintah?
Oleh Riani Amanatillah
Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap Presiden Joko Widodo menguat pada 2019. Direktur Eksekutif LSI,
Djayadi Hanan, menyatakan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja Presiden
Jokowi adalah 71,8 %. Sebanyak 10,6% masyarakat merasa sangat puas dengan hasil
kerja presiden. Kemudian, 61,2% merasa cukup puas dan 23,6% kurang puas.
Sisanya, sebanyak 2,9% masyarakat sama sekali tidak puas (https://nasional.kompas.com/read/2019/11/04/06164921/survei-lsi-menguatnya-tingkat-kepercayaan-kepada-jokowi-hingga-buruknya?page=all).
Senada dengan itu, hasil survei nasional Alvara juga menunjukkan bahwa
kepercayaan masyarakat pada pemerintahan Presiden Jokowi cukup tinggi, yaitu
76,7% (https://www.beritasatu.com/politik/579869/survei-alvara-tingkat-kepuasan-publik-767-pada-kinerja-jokowi-periode-i).
Sebelumnya, berdasarkan survei Voxpol Center, pada bulan April 2019,
tingkat kepuasan masyarakat kecil terhadap calon presiden petahana, yaitu
54,7%. Direktur Eksekutif Voxpol Pangi Syarwi Chaniago menyebutkan bahwa
Presiden Jokowi belum maksimal memberikan pelayanan kesehatan. Masyarakat tidak
puas dengan BPJS, sembako, lapangan pekerjaan, tenaga kerja asing, dan perihal utang
Indonesia. Selain itu, sektor hukum tidak tegak di masa pemerintahan presiden
petahana (https://www.jpnn.com/news/layanan-bpjs-kesehatan-pengaruhi-tingkat-kepuasan-masyakarat-terhadap-jokowi).
Lalu, jika melihat fakta bahwa BPJS akan naik 100% pada 2020, dan masyarakat
menurunkan iuran kelas kepesertaannya untuk menyesuaikan dengan keuangan
mereka, kita harus mempertimbangkan kembali hasil-hasil survei yang menyatakan
bahwa masyarakat puas dengan kerja presiden saat ini. Belum lagi fakta bahwa
mahasiswa turun tangan dalam masalah pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) oleh Presiden Jokowi. Benarkah hasil-hasil survei itu? Ataukah
hal tersebut dijadikan media pencitraan oleh pemerintah?
Di sisi lain, LSI juga mengeluarkan survei mengenai kebebasan sipil.
Hasilnya, masyarakat saat ini cenderung lebih takut berbicara tentang politik.
Mereka juga takut akan penangkapan semena-mena yang mungkin dilakukan aparat
hukum dan takut untuk berorganisasi (https://nasional.kompas.com/read/2019/11/04/06164921/survei-lsi-menguatnya-tingkat-kepercayaan-kepada-jokowi-hingga-buruknya?page=all).
Ditambah lagi, menurut Pangi Syarwi Chaniago, bidang ekonomi masih menjadi
pekerjaan rumah bagi presiden, karena selama lima tahun, aspek-aspek yang
terkait dengan kondisi ekonomi masih belum memenuhi harapan publik. Lima aspek yang
memperoleh kepuasan terendah dari masyarakat adalah ekonomi nasional,
kesejahteraan tenaga kerja, lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan stabilitas
harga kebutuhan pokok (https://www.beritasatu.com/politik/579869/survei-alvara-tingkat-kepuasan-publik-767-pada-kinerja-jokowi-periode-i).
Dengan demikian, terdapat kemungkinan bahwa survei-survei yang menyatakan
bahwa masyarakat puas pada pemerintah bersifat manipulatif. Di dalam Islam,
manipulasi hukumnya haram. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh kebohongan itu
mengantarkan pada kejahatan dan kejahatan itu mengantarkan ke neraka. Sungguh
seorang laki-laki benar-benar berbohong sampai dia ditulis di sisi Allah
sebagai pembohong” (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Selain itu, Rasulullah saw.
juga memerintahkan kita untuk menjauhi ucapan/tindakan bohong, “[...]
tinggalkanlah kebohongan karena sungguh kebohongan itu bersama kekejian dan
keduanya di neraka [...]” (H.R. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan ath-Thabrani).
Berbohong hanya dibolehkan dalam tiga keadaan. Rasul saw. bersabda, “[...]
semua kebohongan ditulis atas anak Adam kecuali tiga macam: laki-laki yang
berbohong kepada istrinya untuk menyenangkannya, laki-laki berbohong sebagai
tipu daya dalam perang, atau laki-laki yang berbohong kepada dua orang muslim
untuk mendamaikan keduanya” (H.R. Ahmad).
Lalu apa yang menyebabkan pemerintah, lembaga-lembaga survei, dan media
berani memanipulasi data? Tentu saja hal ini akibat sistem sekularisme yang
diterapkan di negeri ini. Dalam sistem ini, pemerintah berusaha dengan cara apa
pun mempertahankan kekuasaannya. Sehingga wajar, jika mereka melakukan
perbuatan-perbuatan haram sekalipun merugikan rakyat. Sehingga perlu ada upaya
untuk mengubah kondisi ini, dan hanya sistem Islam yang dapat memperbaikinya. Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar