KHILAFAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN SEJARAH NUSANTARA
Oleh Betiya
Sejarah
islam di Nusantara tak bisa lepas dari eksistensi peran Khilafah dimana masa
khalifah dari Bani Umayyah yang sangat terkenal, Umar bin Abdul Aziz (berkuasa
717-720 M), begitu serius dalam mendakwahkan Islam ke seluruh dunia.Dalam
tulisannya yang berjudul Two Letters from the Maharaja to the Khalifah (1963:
126-129), S.Q. Fatimi membeberkan sepak terjang Khalifah Umar bin Abdul Aziz
dalam menyebarluaskan Islam ke berbagai negeri di seluruh dunia.Termasuk
Nusantara. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pula mulai terjadi hubungan
Khilafah dengan Nusantara.
Menurut Fatimi, penguasa Kerajaan
Sriwijaya yang saat itu berpusat di Pulau Sumatera, Maharaja Sri Indravarman,
pernah menulis surat yang ditujukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz di
Damaskus. Surat tersebut dinukil oleh Ibn Abd Rabbih dalam al- al-Farid berdasarkan riwayat dari Nuaym bin
Hammad: “Raja Hind (Sriwijaya) mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul
Aziz: Dari Raja Diraja—yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga
adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu
gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai (Musi dan Batanghari) yang mengairi
pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak
wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil—kepada Raja Arab (Umar bin Abdul
Aziz), yang tidak menyekutukan Allah dengan segala sesuatu. Saya telah
mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak
begitu banyak,tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimi saya
seseorang yang dapat mengajarkan islam kepada saya dan menjelaskan
hukum-hukumnya.
Kemudian pada masa berikutnya Islam menjadi
kunci perjuangan melawan penjajah terlihat ketika kesultanan Aceh yang berdiri
pada tahun 1496 M, memperbarui hubungan dan ketaatannya dengan pusat kuasa
Islam di Timur Tengah. Ketika pucuk Khilafah sudah beralih ke Bani Utsmaniyah
di Turki, Sultan Aceh yang ketiga, Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (berkuasa
1537-1571), mengirim surat kepada Khalifah Sulaiman al-Qanuni di Istanbul pada
tahun 1566. Dalam surat itu ia menyatakan baiatnya kepada Khilafah Utsmaniyah
dan memohon agar dikirimi bantuan militer ke Aceh untuk melawan Portugis yang
bermarkas di Malaka (Topkapı Sarayı Müsezi Arşivi, E-8009).
Pengganti Khalifah Sulaiman al-Qanuni,
yakni Salim II, mengabulkan permohonan Sultan al-Qahhar dan mengirimkan bala
bantuan militer ke Aceh. Dalam surat balasannya kepada Sultan Aceh itu,
Khalifah Salim II menulis bahwa melindungi Islam dan negeri-negeri Islam adalah
salah satu tugas penting yang diemban oleh Khilafah Utsmaniyah. Khalifah Salim
II pun menunjuk kepala provinsi (sancak) Alexandria di Mesir, Kurdoglu Hizir
Reis, untuk menjadi panglima perang dan dikirim ke Aceh demi memerangi kaum
kafir Portugis dengan pertolongan Allah dann Rasul-Nya (BOA, A.DVNS.MHM,
7/244).
Dengan bantuan yang didapat dari Khilafah Utsmaniyah
ini, Sultan al-Qahhar dari Aceh dapat menyerang Portugis di Malaka pada 20
Januari 1568 dengan kekuatan 15.000 tentara Aceh, 400 Jannisaries Utsmaniyah
dan 200 meriam perunggu (Amirul Hadi, 2004: 23).
Kehadiran pasukan Khilafah Utsmaniyah di
Nusantara benar-benar menggetarkan Portugis; sebaliknya, begitu membahagiakan
Muslim dan menguatkan Islam. Aliansi antara Sultan al-Qahhar dari Aceh dan
Khilafah Utsmaniyah inilah yang kemudian dipaparkan oleh Syaikh Nuruddin
ar-Raniri dalam kitab Bustan as-Salathin yang ia tulis: “Kemudian dari itu maka
Kerajaan Sultan Alauddin Riayat Syah bin Sultan Ali Mughayat Syah, pada Hari
Itsnain, waktu Dhuha, dua puluh hari bulan Dzul-Qadah. Ialah yang mengadatkan
segala istiadat Kerajaan Aceh Darussalam, dan menyuruh utusan kepada Sultan
Rum, ke negeri Istanbul (Khilafah Utsmaniyah), kerana menegohkan agama Islam.
Maka dikirim oleh Sultan Rum daripada jenis utus dan pandai yang tahu menuang
bedil. Maka pada zaman itulah dituang orang meriam yang besar-besar...” (Teuku
Iskandar [ed.], 1996: 31-32)
Selain Sultan Aceh, para sultan lain di
Nusantara selama abad ke-16 juga beraliansi dan menyiratkan kekaguman yang
mendalam kepada Khilafah Utsmaniyah. Sultan Babullah bin Khairun di Ternate
bekerjasama dengan 20 orang ahli senjata dan tentara Khilafah Utsmaniyah ketika
memerangi Portugis di Maluku sepanjang tahun 1570-1575 (Leonard Andaya, 1993:
134, 137).
Berkat semangat jihad dan kerjasama yang
luar biasa antara kaum Muslim di Maluku dan pasukan Khilafah Utsmaniyah,
penjajah Portugis dapat hengkang dari Bumi Maluku setelah masa Sultan Babullah
untuk selama-lamanya.
Melalui
catatan sejarah dapat memotivasi seseorang untuk berbuat lebih baik dari nenek
moyangnya. Bahkan terpenting dalam pemahaman peristiwa masa lalu, akan
menggugah kesadaran sejarah yang bersifat kolektif yaitu bentuk pengalaman
bersama sebagai ungkapan reaksi mereka kepada situasi dalam peristiwa sosial,
politik, ekonomi, kebudayaan dari masa ke masa.
Sungguh, pemerintahan Islam yang bernama
Khilafah pernah memainkan perannya di negeri kita. Rentang jarak pusat Khilafah
yang jauh di Bagdad, Kairo, atau Istanbul, tidak menyurutkan kepedulian para
Khalifah dan kaum Muslim di sana untuk Nusantara. Betapa banyak jejak Khilafah
yang masih berbekas di berbagai pulau di Asia Tenggara. Tentu, jejak yang
paling jelas dan nyata dari peran Khilafah di masa lalu adalah keislaman kita.
Dengan pengiriman para dai yang menyebarkan Islam dan pasukan militer yang
dikirim Khilafah ke Nusantara untuk mengusir penjajah Eropa, kita bisa
merasakan nikmatnya Islam dan persaudaraan umat Islam yang tak mengenal sekat
kebangsaan.
Penegakkan khilafah sejalan dengan
kebutuhan perubahan bangsa saat ini sebab Khilafah adalah sistem kepemimpinan
Islam setelah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Khilafah bertugas untuk menjaga
agama dan mengatur urusan dunia (li-hirasah ad-din)
Betapa Khilafah mempunyai jasa yang besar untuk kebaikan di negeri ini maka dari itu kita wajib meneruskan perjuangan ini sebab akan mendapatkan rahmat dan keberkahan-keberkahan di seluruh alam semesta.
Komentar
Posting Komentar