Sistem Islam Menjadi Solusi Permasalahan Pagar Laut

Oleh Iin Indrawati


Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid mengungkapkan bahwa penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut di kawasan pesisir Pantai Utara (Pantura), Kabupaten Tangerang, Banten, berstatus cacat prosedur dan material. Dia menjelaskan, 266 SHGB dan SHM di area tersebut yang dicocokkan dengan data peta yang ada telah diketahui berada di luar garis pantai, alias berada di atas laut, padahal itu tidak boleh menjadi privat properti, maka tidak bisa disertifikasi (antaranews.com, 22/1/2025).

Menurutnya, karena berada di luar garis pantai, SHGB dan SHM itu secara otomatis dicabut dan dibatalkan status hak atas tanahnya. Ini berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2021. Selama sertifikat tersebut belum lima tahun, Kementerian ATR/BPN memiliki hak untuk mencabutnya atau membatalkan tanpa proses perintah pengadilan.

Kementerian ATR/BPN saat ini juga melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kode etik terhadap petugas juru ukur maupun petugas yang menandatangani atau mengesahkan sertifikat tanah tersebut sebagai langkah penegakkan hukum yang berlaku (
kompas.com, 22/01/2025).

Sebelumnya nelayan telah melaporkan pagar sepanjang 30 km di laut Kab. Tangerang pada bulan Agustus 2024 lalu. Pagar misterius itu menutup jalur pelayaran nelayan, yang membuat mereka kesulitan mencari ikan. Namun, laporan itu baru ditanggapi setelah viral di medsos.

Kementerian agraria dan ATR/BPN memberikan penjelasan bahwa perubahan ini terjadi karena pergeseran area dari tambak menjadi laut. Hal ini tentunya membuat masyarakat di kawasan tersebut merasa dirugikan, karena tidak bisa lagi mengakses wilayah yang sudah dipagari, dan yang pengelolaannya diserahkan kepada pemegang SHGB dan SHM.

Hal ini menjadi sebuah keniscayaan karena negara menerapkan aturannya dengan sistem kufur, yaitu kapitalisme, sehingga negara tidak bergerak cepat dalam menyelesaikan urusan warga negaranya. Sistem kapitalisme menjadikan negara tidak memiliki kedaulatan mengurusi urusan umat. Kedaulatan itu tergadaikan karena adanya prinsip kebebasan kepemilikan, sehingga membuat para kapital bisa memiliki kekayaan hingga kekuasaan melebihi negara, akibatnya negara tidak memiliki kuasa untuk menindak para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat. Negara hanya menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para kapital, bahkan menjadi penjaga kepentingannya. Sistem kapitalisme inilah yang membuat negara menjadikan pemimpinnya menjadi penguasa yang populis otoritarian, yang abai dalam mengurusi rakyatnya dan hanya melakukan pencitraan di muka umum.

Sangat berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam, yaitu Khilafah. Negara Khilafah memiliki kedaulatan penuh dalam mengurusi urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan penuh ini tidak akan membuat negara tunduk terhadap korporasi atau intervensi dari negara mana pun.

Kedaulatan ini terjadi karena syariat dari Allah SWT dan Rasulullah SAW yang menetapkan keberadaan negara adalah wajib untuk menjadi ra'in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Kedua peran inilah yang membuat negara berdiri tanpa intervensi dari pihak mana pun, sehingga kebijakannya akan memberi kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Di sisi lain, pemimpin (khalifah) dan pejabat negara diperintahkan untuk tidak melakukan persekongkolan dengan para kapital atau swasta demi meraup keuntungan pribadi. Mereka juga tidak akan membiarkan sesuatu hal yang dapat membuat rakyat dalam kesengsaraan seperti yang dialami warga disekitar pagar laut itu. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang gembalaan, dan api.

Allah telah menciptakan berbagai benda di muka bumi ini, dan benda-benda ini ada yang menjadi milik individu, milik negara, dan milik umum. Seharusnya, pemanfaatan laut tidak diberikan kepada individu, karena laut merupakan kepemilikan umum, dan bahkan negara tidak berhak memprivatisasi dan menasionalisasinya.

Oleh karena itu, polemik membangun pagar di atas laut ini bertentangan dengan syariat Islam, karena laut termasuk ke dalam kepemilikan umum. Di dalam kepemilikan umum terdapat tiga klasifikasi, pertama adalah barang yang menjadi kebutuhan masyarakat luas. Kedua adalah aset yang tersedia dalam deposit sangat besar, yang artinya semua orang mendapat hak untuk merasakan kemanfaatannya, jadi aksesnya tidak boleh ditutup, dan negara bertanggung jawab melakukan proses eksplorasi. Ketiga adalah barang yang tidak boleh dimiliki individu, artinya terdapat aset-aset di muka bumi ini yang Allah ciptakan tidak untuk orang tertentu, bahkan negara pun tidak memiliki hak untuk memberikan keistimewaan kepada siapa pun. Semua itu telah dicontohkan Rasulullah SAW dalam kehidupan bernegara yang dibangun di Madinah dan dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau.

Jadi, solusi untuk menyelesaikan persoalan tadi adalah dengan menerapkan sistem Islam, lalu berpegang teguh kepada syariat Islam secara kafah yang diterapkan dalam kehidupan bernegara. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter