Mengkritisi Kebijakan Pendidikan Tinggi di Era Revolusi Industri 4.0
Oleh Lika Rosliana (Ibu Rumah Tangga)
Dunia sangatlah
dinamis, perkembangan dan perubahan senantiasa terjadi hampir di semua lini
kehidupan, tidak terkecuali di sektor pendidikan. Perkembangan dan perubahan di
era Revolusi Industri 4.0 membawa dunia pada sebuah era disrupsi, yaitu era
yang menghilangkan entitas lama (yang dinilai konvensional) digantikan dengan
entitas baru.
Entitas ini bisa berupa teknologi, pemain, pekerjaan, ataupun
hal-hal lain yang dulu digunakan kemudian akan ditinggalkan dan diganti dengan
hal baru yang lebih menguntungkan.Menurut Prof. Intan Ahmad (Dirjen
Pembelajaran dan kemahasiswaan Kementrian riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi), era Revolusi Industri 4.0 merupakan gabungan antara unsur domain
fisik, digital dan biologi. Hal ini yang menjadi cikal bakal terjadinya
disrupsi dalam segala bidang yang berimbas pada perubahan karakter dan tingkah
laku manusia.
Menyongsong era
Revolusi Industri 4.0 dimana terjadi perubahan yang serba digital, hal ini
menuntut kesiapan masyarakat dalam menghadapi era tersebut untuk menghindari
terjadinya ketertinggalan. Pendidikan tinggi (universitas) merupakan corong
dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kemampuan
intelektual yang juga dituntut untuk menyesuaikan dengan perkembangan di era
ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Mentri Ristekdikti, Muhammad Natsir
dimana Perguruan tinggi dihadapkan dengan tantangan untuk mempersiapkan dan
melengkapi SDM dengan kompetensi serta keterampilan yang tepat untuk menghadapi
revolusi industri ke-4, agar terus mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan bangsa.
Dalam
menghadapi era Revolusi Industri 4.0 Kemenristekdikti digadang-gadang akan mengeluarkan
kebijakan untuk membuka 10 (sepuluh) perguruan tinggi asing sejalan dengan
hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenristekdikti awal tahun 2018 (17/1).
Rakernas bertajuk 'Ristek Dikti Di Era Revolusi Industri 4.0' yang digelar di
Universitas Sumatra Utara (USU) menghasilkan beberapa analisis terkait
kebijakan pendidikan tinggi yang harus dijalankan menghadapi Revolusi Industri
4.0. Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya untuk maksud dan tujuan apa
pemerintah melakukan hal tersebut. Jika alasannya adalah untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa dengan mendatangkan pendidikan luar
ke dalam negeri, maka sebetulnya hal ini hanya menjadi legitimasi dalam
mengarahkan hasil dari pendidikan tinggi untuk memenuhi permintaan ‘pasar’.
Dengan dibukanya beberapa jurusan yang in dengan kebutuhan pasar
sehingga ketika lulus mahasiswa akan memenuhi posisi-posisi yang dibutuhkan
perusahaan. Hal ini tentunya semakin menunjukkan pendidikan tinggi dalam arus
sistem kapitalisme yang menjerat dan mengarahkan kaum intelektualnya menjadi
budak kapitalisme-neoliberalisme dimana keilmuan yang didapatkan diberikan
untuk kepentingan korporasi.
Jika kita
melihat dalam perspektif islam, pendidikan seharusnya diarahkan untuk
implementasi yang menghasilkan karya untuk dimanfaatkan masyarakat bukan untuk
korporasi. Paradigma kemaslahatan yang dibangun oleh sistem pendidikan
dalam islam akan sangat berkaitan erat
dengan penerapan sistem politik yang menaunginya. Islam sudah banyak menorehkan
tinta emas kegemilangan peradaban, mulai dari individu-individunya yang banyak
menghasilkan karya/penemuan yang bermanfaat untuk masyarakat dunia maupun
universitas-universitas yang menjadi kiblat dan referensi keilmuan dunia pada
saat itu. Sistem politik yang menghasilkan arah pendidikan yang benar adalah
sistem politik islam dimana aturan islam diterapkan dibawah institusi negara
islam.
Wallahu’alam bishawab.
Komentar
Posting Komentar