Bermuhasabah dan Rida Menerima Musibah
Oleh : Rusmiyanti
Tak terasa kita telah memasuki tahun yang baru yaitu tahun 2020. Di tahun yang baru ini tentu kita mengharapkan keadaan yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Tapi kenyataannya musibah kembali melanda negeri ini tepat setelah malam pergantian tahun, yaitu musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi hampir di setiap provinsi yang ada di Indonesia, yang juga merupakan musibah musiman pada saat musim penghujan tiba. Mengerikannya, banjir kali ini merupakan banjir yang terparah dalam kurun waktu 24 tahun terakhir. Bahkan banjir yang melanda hampir di tiga puluh provinsi ini menyisakan pilu yang sangat dalam.
Seperti yang diungkapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data terbaru sampai dengan kamis (2/1) jumlah korban meninggal akibat banjir di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sebanyak tiga puluh orang yang terbagi di beberapa kabupaten dan kota. Seperti Kabupaten Bogor sebelas orang, Jakarta Timur tujuh orang, Kota Bekasi dan Kota Depok masing-masing tiga orang dan sisanya di Kota Bogor dan Kota Tangerang.
Banjir yang berulang setiap tahun jelas bukan hanya faktor alam semata. Juga tidak hanya problem teknis (tidak berfungsi drainase, resapan air, kurang kanal dsb.) tapi masalah sistemik yang lahir dari berlakunya sistem kapitalistik. Tata kota dan pembangunan infrastruktur diserahkan pada kemauan kaum kapitalis berorientasi memenangkan bisnis dan tidak memperhatikan lingkungan, sementara itu masih terjadi kemiskinan masal yang mempengaruhi pola kehidupan (perumahan di bantar kali, tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan dst.).
Bencana yang terjadi bisa berbentuk tiga hal, yaitu: pertama azab dari Allah karena banyak dosa yang dilakukan, kedua sebagai ujian dari Allah, dan ketiga bencana alam yang terjadi sebagai sunnatullah dalam gejala alam atau hukum alam. Ketiganya mempunyai kemungkinan yang sama besarnya. Apabila bencana dikaitkan dengan dosa-dosa bangsa ini dengan kemaksiatan sudah menjadi kebanggaan baik di tingkat pemimpin maupun oleh rakyatnya sendiri, ajaran agama yang banyak ditinggalkan, dan rakyat miskin yang diterlantarkan, poin pertama tidak mustahil menjadi penyebab datangnya bencana. Sebagaimana firman Allah:
“Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah (untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri tersebut maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami) kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra [17]:16)
Ketika orang-orang yang berakal ditimpa suatu musibah tentu mereka akan menyikapinya dengan sabar atas musibah yang terjadi. Dan mereka akan menjadikan musibah tersebut sebagai ujian dari Allah SWT, karena mereka yakin musibah yang terjadi akan menjadikan wasilah sebagai penghapusan sebagian dosa-dosanya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah atau bencana berupa kesulitan, rasa sakit, kesedihan, kegalauan, kesusahan, hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penyelesaian masalah banjir ini tidak cukup hanya perbaikan teknis tapi harus menyentuh perubahan ideologis. Dengan menyadari sistem kapitalistik mufsiduna fil ardh sedangkan pemberlakuan islam akan mewujudkan khilafah fil ardh. Oleh karena itu, sebagai seorang mukmin kita harus menjadikan fenomena banjir di negeri ini sebagai pengingat kita untuk bermuhasabah untuk bertaubat, belajar rida menerima musibah, dan mengubah pola hidup kapitalisme menjadi syariat Islam untuk meraih keberkahan yang berlimpah ruah serta mewujudkan negeri yang baldatun thayyibatun wa robbun ghofur.
Tak terasa kita telah memasuki tahun yang baru yaitu tahun 2020. Di tahun yang baru ini tentu kita mengharapkan keadaan yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Tapi kenyataannya musibah kembali melanda negeri ini tepat setelah malam pergantian tahun, yaitu musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi hampir di setiap provinsi yang ada di Indonesia, yang juga merupakan musibah musiman pada saat musim penghujan tiba. Mengerikannya, banjir kali ini merupakan banjir yang terparah dalam kurun waktu 24 tahun terakhir. Bahkan banjir yang melanda hampir di tiga puluh provinsi ini menyisakan pilu yang sangat dalam.
Seperti yang diungkapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data terbaru sampai dengan kamis (2/1) jumlah korban meninggal akibat banjir di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sebanyak tiga puluh orang yang terbagi di beberapa kabupaten dan kota. Seperti Kabupaten Bogor sebelas orang, Jakarta Timur tujuh orang, Kota Bekasi dan Kota Depok masing-masing tiga orang dan sisanya di Kota Bogor dan Kota Tangerang.
Banjir yang berulang setiap tahun jelas bukan hanya faktor alam semata. Juga tidak hanya problem teknis (tidak berfungsi drainase, resapan air, kurang kanal dsb.) tapi masalah sistemik yang lahir dari berlakunya sistem kapitalistik. Tata kota dan pembangunan infrastruktur diserahkan pada kemauan kaum kapitalis berorientasi memenangkan bisnis dan tidak memperhatikan lingkungan, sementara itu masih terjadi kemiskinan masal yang mempengaruhi pola kehidupan (perumahan di bantar kali, tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan dst.).
Bencana yang terjadi bisa berbentuk tiga hal, yaitu: pertama azab dari Allah karena banyak dosa yang dilakukan, kedua sebagai ujian dari Allah, dan ketiga bencana alam yang terjadi sebagai sunnatullah dalam gejala alam atau hukum alam. Ketiganya mempunyai kemungkinan yang sama besarnya. Apabila bencana dikaitkan dengan dosa-dosa bangsa ini dengan kemaksiatan sudah menjadi kebanggaan baik di tingkat pemimpin maupun oleh rakyatnya sendiri, ajaran agama yang banyak ditinggalkan, dan rakyat miskin yang diterlantarkan, poin pertama tidak mustahil menjadi penyebab datangnya bencana. Sebagaimana firman Allah:
“Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah (untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri tersebut maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami) kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra [17]:16)
Ketika orang-orang yang berakal ditimpa suatu musibah tentu mereka akan menyikapinya dengan sabar atas musibah yang terjadi. Dan mereka akan menjadikan musibah tersebut sebagai ujian dari Allah SWT, karena mereka yakin musibah yang terjadi akan menjadikan wasilah sebagai penghapusan sebagian dosa-dosanya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah atau bencana berupa kesulitan, rasa sakit, kesedihan, kegalauan, kesusahan, hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penyelesaian masalah banjir ini tidak cukup hanya perbaikan teknis tapi harus menyentuh perubahan ideologis. Dengan menyadari sistem kapitalistik mufsiduna fil ardh sedangkan pemberlakuan islam akan mewujudkan khilafah fil ardh. Oleh karena itu, sebagai seorang mukmin kita harus menjadikan fenomena banjir di negeri ini sebagai pengingat kita untuk bermuhasabah untuk bertaubat, belajar rida menerima musibah, dan mengubah pola hidup kapitalisme menjadi syariat Islam untuk meraih keberkahan yang berlimpah ruah serta mewujudkan negeri yang baldatun thayyibatun wa robbun ghofur.
Komentar
Posting Komentar