ORMAS HANYA PENDONGKRAK SUARA REZIM?

Oleh Restu Febriani


Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas ummat muslim terbanyak didunia, sudah menjadi rahasia umum bahwa ormas islam selalu menjadi rebutan partai atau kontestan pemilu, untuk meraup suara memenangkan sang kontestan. Ditengah arus politik sekuler yang transaksional, sang kontestan memberi sejumlah janji dan menawarkan imbalan atas dukungan tersebut.

“Ketika Pilpres suara kita dimanfaatkan. Tapi ketika selesai, kita ditinggal.” Ujar Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU dalam video pernyataannya saat wisuda mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) di Parung, Bogor, Jawa Barat. (rmolbanten.com, 28/12/2019)

Buntut panjang dari pernyataan Said Aqil dalam videonya adalah membuat para tokoh nasional ikut bersuara. Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli mengatakan lewat akun twitternya, “Pemimpin-pemimpin formal NU membuat NU menjadi kecil dengan menjadikannya sekedar “kendaraan sewaan”. Bahkan bersedia memakai plat merah. Padahal akar NU adalah plat hitam, organisasi masyarakat yang berjuang untuk keadilan dan kemakmuran rakyat.”

Said Didu juga ikut mengomentari janji Sri Mulyani ke PBNU. Melalui akun Twitternya, Said mengatakan ada hal prinsip yang harus diketahui publik terkait janji Sri Mulyani tersebut. Said mempertanyakan kewenangan Menkeu bagi-bagi uang kepada ormas. Jika sumber keuangan dari APBN, apa dasar hukumnya? Jika sumbernya perbankan, berarti Menkeu mengintervensi bank. Jika demi suara, berarti Menkeu sudah berpolitik. (pojoksatu.id, 28/12/2019)

Kementerian Keuangan pun menjawab pidato Said Aqil yang menagih janji Sri Mulyani Rp1,5 triliun. Menkeu mengatakan, kredit murah sebesar Rp1,5 triliun sudah dialokasikan di APBN 2017 dan sudah cair. Ia juga menambahi bahwa Kemenkeu dan NU, serta organisasi masyarakat lainnya membuat nota kesepahaman atau MoU. Operasionalnya adalah dengan menyalurkan kredit ultramikro melalui beberapa lembaga. (pojoksatu.id, 27/12/2019)

Pengakuan ketua ormas ini hanya menegaskan bahwa rezim sekuler demokrasi berkarakter ingkar janji dan hanya memanfaatkan rakyat dan ormas sebagai mesin pengeruk suara dan pendorong mobil mogoknya. Karena semua kemenangan distandarisasi suara terbanyak, bukan kebenaran.

Hendaknya menjadi i’tibar bahwa ormas tidak boleh beralih dari tanggung jawab amar makruf nahi mungkar dan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) sesuai misi kehadirannya di tengah masyarakat. Seperti firman Allah dalam Qs. Ali-Imran (3): 104

هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَأُولَٰئِكَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ وَلْتَكُنْ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Tujuannya untuk menyerukan Islam, dalam konteks menerapkan Islam secara kafah maupun menjalankan dakwah. Selain itu, juga menyerukan pada yang makruf dan mencegah dari tindak kemungkaran, baik yang dilakukan oleh masyarakat dan negara.

Semua dilakukan tanpa imbalan dari penguasa, tidak berkompromi dengan kezalimannya dan selalu teguh berpegang pada prinsip syariat dengan hanya mengharap ridha Allah SWT semata. Amal inilah yang saat ini menjadi kebutuhan hakiki umat, bukan dana dan suntikan modal yang justru membuat umat tidak menyadari pertentangan rezim dengan sistem kepemimpinan Islam.

Seharusnya ormas Islam yang dipimpin para ulama tidak menjilat pada penguasa yang jahat. Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah kalian mendekati pintu penguasa karena ia benar-benar menjadi berat dan menghinakan.” (HR ath-Thabarani dan ad-Dailami).

Ormas Islam haruslah menjadi garda terdepan dalam menyampaikan kebenaran Islam. Karena mereka ialah orang yang paling tahu tentang kewajiban menerapkan syariat Islam, mengetahui urgensi pengurusan umat dengan Islam.

Serta ketiadaan negara Islam (baca: Khilafah) menjadikan umat Islam terhina dan terus terpuruk dalam kubang penderitaan. Jika mereka tidak berjuang untuk Islam, artinya telah menyalahi ilmunya dan siap atas azab-Nya.

Menjadi pengingat bagi kita hadis Nabi Saw., dikutip oleh Imam an-Nawawi, dalam kitab Al-Majmû’ Syarh al-Muhaddzab, “Orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat, adalah orang alim yang ilmunya tidak bermanfaat.” Wallahu a’alam bish-shawab

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter