LIBERALISASI PARIWISATA
Oleh Renita
Keindahan Pesona
Alam Indonesia ternyata belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan dengan baik.
Terbukti banyaknya destinasi pariwisata di negri ini, yang diklaim dapat
menjadi sumber devisa instan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, belum
bisa mensejahterakan negri dan rakyat, hal ini di karenakan pariwisata era kini
hanya menjadi “ajang bisnis” . Sama persis
dengan sektor yang lain. Berorientasi profit, bebas nilai.
Bahkan
baru-baru ini ditemukan fakta bahwa beberapa tradisi kesyirikan masih banyak dilakukan
di sekitar tempat wisata di Indonesia. Seperti yang terjadi di Sumedang, pada
Even Tari Umbul Kolosal ribuan warga diharuskan melakukan tarian yang membuat
mereka jatuh pingsan dan kesurupan karena tak kuat menahan teriknya matahari.
“Jadi tegang begini ya. Sirine ambulan hampir semuanya
berbunyi, belum lagi yang berteriak-teriak karena kesurupan. Terus yang pingsan
karena kepanasan juga malah tambah banyak,” kata Yudi Permana (39), salah
seorang pengunjung asal Kec. Situraja, saat diwawancara di sekitar Kantor
Satker Jatigede
Di
tempat lain, di Daerah Berau, Kalimantan, tradisi adat Buang Nahas di Kampung
Talisayan, Kecamatan Talisayan, kembali digelar masyarakat. Tradisi adat yang
selalu digelar di akhir bulan Safar tahun hijriah tersebut, bertujuan
untuk membuang segala keburukan dan berdoa bersama untuk mendapat
keselamatan, kemakmuran, dan dijauhkan dari segala bencana. Namun, masyarakat dan
panitia pelaksana Buang Nahas tahun ini, sangat kecewa. Kecewa kepada Camat
Talisayan Mansyur yang disebut tidak merestui tradisi adat mereka dengan alasan
bertentangan dengan akidah islam.
“Susah sudah kalau bicara akidah. Karena
masing-masing berbeda pandangannya soal akidah,” katanya saat ditemui di lokasi
acara.
Dari dua berita diatas menunjukkan bahwa
masih banyaknya pariwisata syirik yang masih dilakukan di negri ini, padahal
hal ini sangat bertentangan dengan akidah islam dan ini sekaligus menunjukkan lemahnya
pemahaman umat di negri mayoritas muslim ini. Realitasnya, tak bisa kita pungkiri
bahwa kehidupan umat Islam hari ini, termasuk di Indonesia memang sudah sangat
jauh dari tuntunan Allah SWT. Mereka muslim, tapi keislamannya tak nampak dalam
perikehidupan mereka. Adat dan
tradisi seperti buang nahas dan tarian yang dipamerkan oleh masyarakat
indonesia dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Disadari
atau tidak sejatinya aktivitas kesyirikan tersebutlah yang menyebabkan lemahnya
akidah umat sebagai kunci kekuatan umat. Umat yang harusnya bersatu, dengan
adanya tradisi ini malah disibukkan dengan acara yang kurang bermanfaat bahkan menghasilkan
kemudharatan bagi warga .
Pengembangan
pariwisata dengan menghidupkan budaya lokal yang mengandung ajaran kesyirikan dengan
alasan memiliki “daya jual” terbukti menuai petaka. Menghidupkan sektor
pariwisata dengan menghidupkan budaya lokal yang banyak mengandung syirik jelas
mengundang murka Allah. Bagaimana bisa negri ini diberkahi jika Sang Pemilik
Alam sudah murka?
Di
Sisi Lain , Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Amalia
Adininggar Widya mengatakan di tengah kondisi ekonomi global yang tidak
menentu, sektor pariwisata dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Amelia menjelaskan kalau salah satu “jalan pintas” yang bisa digunakan
untuk menyelamatkan devisa negara adalah lewat sektor pariwisata.
“Analisis sementara
menunjukkan industri pariwisata tidak terpengaruh oleh perang dagang. Meski
sedang terjadi perang dagang, orang-orang tetap berwisata,” papar Amelia
dikutip dalam siaran persnya, Sabtu (29/06/2019).
Dengan
pernyataan yang dilontarkan Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi
Ekonomi dan Pembiayaan Amalia Adininggar Widy, menguatkan anggapan bahwa hari ini publik terlanjur menelan
mentah-mentah pandangan sesat yang mengharuskan kita memfokuskan diri pada
sumber pendapatan yang baru, yaitu sektor pariwisata. Sektor ini ditetapkan sebagai
primadona atau unggulan yang dianggap berkontribusi besar mengentaskan
kemiskinan bangsa serta dapat menghadapi kesulitan ekonomi akibat perang dagang
AS – Cina. Padahal Jauhnya kesejahteraan dari negeri ini bukan karena kurangnya
sumber pemasukan. Namun karena pilihan salah terhadap sistem ekonomi untuk
mengatur pengelolaan sumber daya alam maupun sumber daya lain. Sistem ekonomi
kapitalistik dan liberal yang menjadi rujukan mengelola sektor ekonomi
menyebabkan makin buruknya kondisi ekonomi bangsa
Fokus
pembangunan pada aspek non strategis ini adalah salah satu sarana mengokohkan
penjajahan bagi kaum kapitalis. Mereka mampu meyakinkan pemerintah
untuk membangun infrastruktur dan pariwisata sebagai investasi yang
menguntungkan. Kemudahan investasi pada bisnis ini terjadi, karena pariwisata
adalah sektor yang diunggulkan dalam strategi pasar bebas, sehingga kaum
kapitalis bisa leluasa mengeruk kekayaan strategis negri ini dengan status
sebagai investor. Pariwisata menjadi
sektor andalan agar terjadi arus modal dan investasi dari berbagai negara,
korporasi ataupun personal ke suatu negeri. Hal ini seakan menjadikan sektor
ini mampu menggairahkan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya pertumbuhan yang terjadi
tidak mampu mensejahterakan negeri dan rakyat. Karena keuntungan sektor
pariwisata hanya berlari kepada pemilik modal.
Oleh karena itu, untuk melepaskan diri dari penjajahan
pariwisata dibutuhkan kesadaran, kemauan, dan kekuatan yang bersifat ideologis
dalam diri penyelenggara negara dan masyarakat. Bias ideologi negara yang selama ini terbuka pada sosialisme-komunisme
dan condong kepada kapitalisme-demokrasi harus dihilangkan.
Caranya dengan mengembalikan penerapan ideologi yang
berasal dari Penguasa Alam Semesta sebagai jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan
dan kedaulatan politik suatu negara. Dan khilafah dengan keagungannya adalah
alternatif tunggal yang sepadan dalam menghadapi penjajahan tunggal
kapitalisme.
Komentar
Posting Komentar