Lombok : Antara Gempa dan Buruknya Ri’ayah Negara
Oleh
Lika Rosliana S.Si (Ibu Rumah Tangga)
Pilu kita rasakan, rentetan gempa
yang susul-menyusul dialami saudara kita yang ada di Lombok, Nusa Tenggara
Barat (NTB) dari akhir Juli hingga awal Agustus ini. Bencana gempa bermagnitudo
7 SR yang mengguncang NTB sudah dua pekan berlalu. Namun, sederet duka dan
nestapa masih dirasakan masyarakat yang menjadi korban terdampak dari bencana
gempa tersebut. Dikutip laman kompas.com, hingga jumat (17/8) tercatat sebanyak 469 orang meninggal dunia,
1.054 orang mengalami luka-luka dan dirawat di sejumlah tenda pengungsian di
Lombok Utara dan Kota Mataram. Gempa tidak hanya meluluhlantahkan harta benda
mereka secara materi, tetapi juga semangat, kepercayaan, dan harapan yang
terkikis secara moril. Gempa juga menyisakan persoalan pelik dan klasik yang
selalu berulang, yaitu lambatnya pemerintah dalam menangani permasalahan gempa
hingga masih adanya korban gempa yang tidak tersentuh bantuan.
Dahsyatnya tragedi gempa yang
terjadi, membuat masyarakat berduyun-duyun menuju area perbukitan untuk
menyelamatkan diri dan menghindari kemungkinan terjadinya tsunami dari adanya
gempa susulan, terutama masyarakat yang ada di daerah Lombok Utara. Namun, hal
ini membuat mereka terisolir dari bantuan pemerintah. Dan nampaknya pemerintah
tidak berupaya cepat dan sigap dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Kontras,
hal ini berbanding terbalik dengan instruksi pusat yang ditunjukkan oleh
Presiden langsung melalui Mentri Pariwisata, Arief Yahya, dimana Presiden
meminta jajarannya memberikan pelayanan terbaik bagi para wisatawan yang sedang
berada di Lombok saat kejadian melalui langkah 3A (Akses, Atraksi, Amenitas).
Akses darat, laut, dan udara bagi wisatawan dipermudah hingga Menteri
perhubungan juga bergerak cepat dalam memindahkan para wisatawan yang terjebak
di sejumlah area wisata. Hal ini menunjukkan ketimpangan yang serius yang
memperjelas buruknya ri’ayah (pengurusan ) pemerintah terhadap
masyarakat yang terdampak bencana gempa. Pemerintah tidak hanya lamban dalam
penanganan gempa di sejumlah wilayah, namun juga timpang jika dibandingkan
pengurusan terhadap wisatawan, dimana wisatawan lebih diutamakan dan mendapat
pelayanan yang lebih baik.
Jika melihat dalam kaca mata islam,
terjadinya gempa pastilah ada sebab kemaksiatan yang melatarbelakanginya.
Ketika terjadi gempa di Madinah saat masa kekhilafahan Umar bin Khattab, Umar
menyeru pasca gempa dengan seruan, “Wahai masyarakat, tidaklah gempa ini
terjadi kecuali karena ada sesuatu yang kalian lakukan. Alangkah cepatnya
kalian melakukan dosa. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika terjadi gempa
susulan, aku tidak akan mau tinggal bersama kalian selamanya!”.
Melalui gempa, Allah SWT
mengingatkan manusia pada kemaksiatan yang telah diperbuatnya, Allah pun
senantiasa mengawasi dengan apa dan bagaimana para penguasa menghadapi tragedi
gempa ini. Apakah ri’ayah yang dilakukan sesuai dengan islam dan
aturan-Nya? Ataukah sesuai dengan nafsu manusia? Islam dengan sangat jelas
memerintahkan penguasa untuk bekerja secara maksimal mengurusi rakyatnya sesuai
dengan aturan-aturan yang dikehendaki-Nya. kewajiban penguasa secara umum
tergambar dalam dua kalimat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun,
yaitu iqomatud din wa siyasatud dunya bihi yang
artinya menegakkan agama dan mengatur urusan umat berdasarkan agama. Sehingga
jelas lah sudah bahwa buruknya ri’ayah pemerintah terhadap tragedi gempa
karena dilakukan tidak sesuai islam dan aturan-Nya, padahal hal ini tentu akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat
kelak.
[Wallahu’alam
bishawab].
Komentar
Posting Komentar