Pelantikan Puan, Tak Menjanjikan Perubahan


Oleh Rengganis Santika

Fakta Buruk Demokrasi Di Eksekutif Dan Legislatif.
 Publik masih belum lupa saat partai kepala kerbau moncong putih melaksanakan kongres PDIP di Bali baru lalu, Ketua umum partai, Megawati Soekarnoputri dengan suara berapi-api minta jatah kursi kabinet lebih banyak dari pada periode sebelumnya dan dengan porsi yang lebih banyak dibanding partai lain..."Gertakan" yang bisa juga disebut ancaman ini disambut sang petugas partai, presiden Joko widodo, tentu harus dengan kepatuhan dan loyalitas penuh walaupun
dengan nada sedikit guyon. Namun dari fakta kasat mata ini publik sudah bisa membaca, menganalisa akan seperti apa arah dan siapa ikut menentukan kebijakan di negri ini.
Perseteruan kursi kabinet, dan tarik menarik kepentingan di kalangan elit partai makin memperjelas wajah buruk demokrasi. Inilah demokrasi transaksional, kompromi berbagai kekuatan. Demokrasi akhirnya hanya jadi alat meraih kursi kekuasaan. Kabinet tidak seindah slogannya "kerja..kerja..kerja" realitasnya bukan kerja bagi rakyat namun kerja bagi kepentingan pribadi, kelompok, golongan, partai atau asing..tak jarang ketika berhadapan dengan kepentingan rakyat, maka rakyatlah yang dikorbankan. Orientasi bagi kemashlahatan rakyat cuma isapan jempol. Inilah fakta implementasi demokrasi dalam eksekutif yang ujungnya sekedar bagi-bagi kekuasaan antar partai. Pertarungan alot demi ambisi dan kepentingan elit partai, hingga akhirnya seringkali komposisi kabinet di eksekutif tanpa ditunjang profesionalisme serta kapasitas kemampuan yang layak. Jadi jangan heran kinerja eksekutif di kabinet seringkali jauh dari tujuan dan harapan publik.
 Itulah fakta di eksekutif maka setali tiga uang dengan fakta di legislatif. Lihat saja apa yang terjadi di gedung DPR-MPR tanggal 1 oktober kemarin, akhirnya diputuskan jajaran pimpinan ketua DPR-MPR beserta para wakilnya, untuk periode lima tahun kedepan. Terpilihlah Puan Maharani yang dianggap sebagai penerus dinasti politik Soekarno , sebagai ketua DPR. Publik sudah dapat menebak, terpilihnya Puan adalah langkah strategis PDIP yang mendulang suara signifikan di kontestasi pemilu. Terpilihnya puan tentu akan semakin mengokohkan peran Megawati Soekarnoputri sebagai pemegang kekuasaan partai dalam menentukan arah kebijakan negri ini.
Eksekutif dan legislatif serupa tapi tak sama. Publik sudah bisa menganalisa arah kebijakan di legislatif kurang lebih akan sama saja dengan di eksekutif, yaitu akan terjadi dominasi kepemimpinan yang absolut, dalam hal ini dibawah kendali Megawati. Sudah pasti prioritas kepentingan partai dan kelompok diatas kepentingan rakyat (sebetulnya fakta ini sudah terjadi, seperti dalam perumusan RUU KPK dan RUU lainnya sekarang). Tidak sedikit publik yang pesimis bahkan skeptis dengan pelantikan puan.
Menilik Rekam Jejak Ketua DPR.
Apa yang bisa dilakukan publik dan rakyat Indonesia? Tak kuasa rakyat menolak, Semua ditentukan mereka. Slogan dalam demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat...bohong adanya! rakyat tak punya kuasa dan tak berdaya untuk mengintervensi parlemen, apalagi menentukan arah kebijakan. Meskipun banyak publik dan rakyat Indonesia kecewa atas dilantiknya Puan Maharani sebagai ketua DPR, namun rakyat tak bisa menolak karena dianggap mereka sudah terwakili oleh anggota DPR.
Rakyat punya alasan kuat untuk kecewa. Sebagai ketua DPR tentu dia yang akan menjadi ujung tombak dalam menerima aspirasi rakyat. Ketika rakyat protes terhadap kebijakan pemerintah lalu lari mencari wadah aspirasi ke DPR, sementara ketua DPR adalah "putra mahkota" yang bersimbiosis mutualisma dengan petugas partai, mereka akan saling menguatkan dan saling dukung antara pimpinan tertinggi legislatif dengan pimpinan tertinggi eksekutif, bukan malah mengakomodir aspirasi publik. Dipastikan kondisi ini bisa mematikan suara aspirasi rakyat, menumpulkan kritik publik. Lembaga negara kehilangan obyektivitas dan marwah. Rakyat akhirnya mencari saluran lain, yaitu parlemen jalanan. Dan hal ini semakin membuktikan utopis nya demokrasi sebagai jalan menuju perubahan.
Seperti dalam pengesahan RUU KPK, Publik dapat melihat, bagaimana eksekutif dan legislatif bekerjasama meloloskan UU KPK yang kontroversial itu, publik mendesak dicabutnya UU KPK melalui perppu presiden, tapi partai pemegang rekor pertama dan terbesar jumlah koruptor dan angka nilai korupsinya yaitu PDIP, tegas menolak presiden mengeluarkan perppu. Pemilihan ketua KPK yang baru, dan menuai banyak penolakan publik karena track record nya yang kontroversial. Ketua KPK baru yang merupakan hasil mekanisme voting di parlemen, juga menyiratkan ada "kepentingan" yang harus diamankan baik oleh eksekutif maupun legislatif bahkan yudikatif. Rakyat akhirnya turun ke jalan mencari saluran aspirasi mereka.
Dilantiknya puan, jelas mengecewakan publik yang menginginkan perubahan. Kasus keterlibatannya di korupsi E KTP saja belum jelas. Ditambah bila kita mengingat rekam jejaknya saja di kabinet yang nihil prestasi dan kemam-puan, publik semakin apatis dengan wajah DPR kedepan yang kian kelam dan gelap. Ketua DPR ini justru namanya ramai disebut-sebut dalam ruang pengadilan sebagai penerima aliran dana mega korupsi E KTP bersama Ganjar Pranowo (gubernur Jateng), Tjahyo kumolo geng-nya di PDIP. Sekeras apapun para elit partai moncong banteng ini menolak fakta persidangan, dan opini ditengah masyarakat, publik sudah paham mana yang fakta mana yang hoax.
Realitanya kasus korupsi apalagi korupsi kelas kakap seperti proyek E KTP ini, dipastikan dilakukan berjamaah. Korupsi proyek negara ini tak mungkin bejalan mulus tanpa melibatkan para pejabat dan elit partai. Terdakwa yang sudah terciduk seperti setnov tentu tak mau dihukum sendirian dia akan tarik dan sebut rekan-rekan yang turut menikmati uang haram tersebut. Lagi-lagi aparat penegak hukum sepertinya pura-pura "budeg" sampai akhirnya publik perlahan lupa dengan kegaduhan korupsi dahsyat ini, hingga pun berlalu. Apalagi Puan sekarang sudah sah sebagai ketua DPR yang didukung petugas partai, maka semakin amanlah posisi nya.
Publik juga tak mungkin lupa dengan pernyataan-pernyataan "asbun" yang menyakiti hati rakyat dari perem-puan cucu proklamator ini. Pernyataan ketika harga beras mahal, bukannya pemerintah mawas diri malah rakyat diminta diet mengurangi nasi. Publik juga bisa menilai dan mengukur sejauh mana kemam-puan dari Puan maharani ini. Biasa-biasa saja bahkan yang keluar dari benak dan lisannya sebagai menko semakin memperlihatkan kapasitasnya yang samasekali nihil solusi. Namun dia selalu menjadi mentri yang aman diposisinya, bersama petugas partai, meskipun tak ada kemampuan yang menonjol. Publik sudah menunggu terlalu lama apa kiprah yang sudah dilakukannya bagi bangsa dan negara. Rupanya harapan publik untuk perubahan pasca pesta demokrasi kian sirna...awan hitam masih menggelayut di negri besar ini.
Setelah dilantik paling tidak publik berharap ada sepatah dua patah kata atas aksi mahasiswa atau keprihatinan pada kasus wamena papua, sebagai bukti komitmen DPR bahwa DPR benar-benar ingin mewujudkan perannya sebagai wadah aspirasi rakyat. Publik kembali memendam kecewa. Publik akhirnya bertambah kecewa sambil tertawa getir menyaksikan tontonan anggota DPR yang terlelap tidur di ruang sidang senayan, sungguh pemandangan menyedihkan tepatnya tak tahu malu ,anggota dewan baru ini!! Lengkaplah sudah "kesialan" rakyat bangsa besar ini...ketua dan anggota sama-sama tidak menyiratkan harapan baru ke arah yang lebih baik.
Demokrasi Gagal Membawa Perubahan
Apa yang bisa demokrasi lakukan untuk merubah keadaan bangsa? Pasca berpesta demokrasi seharga 25T (kira-kira kalau dibagi rata per kepala dari jumlah penduduk Indonesia, maka masing-masing mendapat 1 juta rupiah...lumayan!!) Tapi biaya pesta pun habis tak bersisa. Diawal lembaran dua periode presiden plus petugas partai. Negri ini bergolak...jangan tanyakan apakah negara hadir? Meskipun angin tuntutan menuju perubahan kencang berhembus ke senayan melalui aksi para mahasiswa dan pelajar, yang pecah jelang pelantikan anggota DPR-MPR baru, tapi sayang angin perubahan itu kian melemah menjadi sepoi-sepoi di hati para anggota dewan, hingga akhirnya anggota dewan terlena untuk mendengar aspirasi bahkan jeritan rakyat dengan hati nurani yang jernih.
Korban darah dan peluh para mahasiswa dan pelajar tak membuat anggota dewan punya hati. Aksi mereka sempat mengguncangkan gedung nusantara satu DPR-MPR senayan, ketika BEM UI didalam ruang sidang senayan dengan lantang dan berani menyebutkan DPR adalah "Dewan Pengkhianat Rakyat". Anjing menggonggong kafilah berlalu. Para wakil rakyat tak bergeming, sudah terlanjur nyaman di kursi empuk dalam sejuknya ruang ber AC, sementara rakyat khususnya para mahasiswa dan pelajar bertahan ditengah terik matahari, semburan water cannon dan tembakan gas air mata
Sejatinya rakyat Indonesia termasuk mahasiswa pelajar adalah pemilik sesungguhnya gedung bersejarah itu, justru mereka harus merasakan matahari dan kejamnya pasukan coklat. Kita tidak memungkiri dalam sebuah aksi massa bisa saja ada yang memprovokasi. Namun diantara mereka masih adapula idealisme untuk perubahan yang baik bagi negri . Hanya saja tetap perlu memoles agar visi misi perubahan mereka adalah perubahan hakiki dengan landasan ideologi yang benar dan shahih.
Demikian pula bagaimana wujud demokrasi pada DPR ketika melihat dan mensikapi peristiwa korban mahasiswa dan di Wamena, tak ada sekedar suara keprihatinan keluar dari senayan sana bagi para mahasiswa yang gugur dan terluka. Apalagi bagi Wamena dimana warga dibakar, dihabisi dengan sadis, harta benda habis. Suara rakyat dan mahasiswa bagi para anggota dewan cuma sekedar "the show must go on" . Suara rakyat yang menurut demokrasi adalah suara tuhan, ternyata cuma "bullshit". Barangkali jika Montesque masih hidup, dia akan merenung dan merasa bersalah melihat teorinya akan seburuk dan segagal ini. Di Indonesia terbukti teori "trias politica" telah tumbang seiring terjadinya dominasi kekuasaan absolut. Tak ada lagi pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dulu mungkin teori ini dianggap powerfull bagi negara penganut demokrasi sekuler di dunia. Namun kegagalan demokrasi kini semakin nyata dan gagal membawa perubahan. Kini mulai saatnya manusia berfikir, untuk mencampakan demokrasi yang memang cacat sejak lahir.
Islam Solusi Perubahan Hakiki
        Sekalipun pelantikan jajaran ketua dan wakil DPR dibawah sumpah dengan Al qur'anul karim diletakan diatas kepala, wujud simbolisasi ketundukan seorang muslim pada kitab sucinya. Tapi rupanya Al qur'an selama ini dipakai dalam negara kapitalis sekuler ini, tak lebih sekedar penghias. Hukum Alloh dalam Al qur'an justru diabaikan. Inilah pangkal permasalahan bangsa ini. Aturan islam memiliki pilar yang mengokohkan negara dengan menempatkan kedaulatan ada pada hukum syara, hukum pemilik bumi dan langit. Kemudian islam memiliki pilar bahwa kekuasaan ada di tangan umat (warganegara), artinya publik lah yang membaiat menyerahkan pengeloaan negara kepada pemimpin/ khalifah agar menjalankan kepemimpinan sesuai dengan aturan Alloh. Bukankah indonesia lahir atas berkat rahmat Alloh?? Kenapa kita sebagian besar muslim tapi menolak hukum Alloh dan memilih hukum buatan manusia yang terbukti gagal dan menimbulkan banyak masalaH? Islam rahmat bagi seluruh alam...baik muslim maupun non muslim baik manusia dan bukan manusia semua mendapat keberkahan dari bumi dan langit...masih belum percaya?? Atau memilih bertahan dengan demokrasi yang sudah babak belur ini??...atau masih mau ber narasi radikal terhadap syariat Alloh?...kalau berani menantang Alloh...monggo..dan pemenangnya sudah pasti rajanya alam semesta Alloh swt. Wallohu'alam bish showab




Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter