PAJAK DAN SISTEM KAPITALISME GAGAL MENYEJAHTERAKAN RAKYAT

Oleh Ira Fuji Lestari

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal kuat bahwa, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 akan tetap dilaksanakan. Penegasan ini ia sampaikan saat rapat kerja dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi XI DPR. “Sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan. Tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa... bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya,” tegas Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI (CNBC Indonesia, 25/11/2024).

Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem kapitalisme. Karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak. Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, hakikatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya, negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat sudah biasa terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat wajib sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara.

Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya, banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha dengan alasan meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya, investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat, padahal faktanya tidak seperti itu. Berbagai lapisan masyarakat, mulai buruh sampai akademisi menolak kebijakan keanikan PPN. Terdapat berbagai alasan yang disampaikan, termasuk kenaikan PPN per 1 Januari 2025 meski banyak yang menandatangani petisi menolak kenaikan PPN.

Bebeda halnya dengan Islam, Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapat negara, itu pun hanya dalam kondisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu. Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dengan pengaturan sistem politik ekonomi Islam ini, penguasa akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan akan memudahkan hidup rakyat.
Wallahu a’lam bii shawab.

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter