Pajak Dipungut, Suruh Siapa dan Untuk Apa?

Oleh Iin Indrawati

 

Sejak adanya rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%, para pengusaha sudah mengambil ancang-ancang untuk menaikkan harga barang mereka. Bahkan, Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widya Pratama, menyatakan terdapat sejumlah pengusaha yang terlanjur mengenakan PPN 12% pada barang nonmewah (metrotvnews.com, 7/1/2025). Rencana kenaikan pajak ini memang membingungkan banyak pihak, belum lagi pro dan kontra yang muncul di tengah masyarakat.

Sebenarnya, pajak di Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu. Sejumlah prasasti menyebut penarikan pajak yang berasal dari kerajaan masa Hindu-Buddha. Sedangkan di masa kolonial, pajak juga menjadi salah satu pemasukan bagi negara. Kompeni (VOC) menerapkan beberapa kebijakan pajak. Sepanjang tahun 1920 hingga 1935, Pemerintah Hindia Belanda mengenalkan tiga jenis pajak, yaitu pajak penghasilan (1920), pajak perusahaan (1925), pajak pendapatan (1932), dan pajak upah (1935).

Menurut teori Adam Smith, terdapat 4 mekanisme yang harus diperhatikan dalam pungutan pajak yang dilakukan oleh negara, yaitu:

1. Memenuhi aspek keadilan, yaitu sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak.
2. Memenuhi unsur kepastian, yakni pungutan pajak tidak berubah-ubah.
3. Memenuhi aspek kemudahan, yakni dipungut dekat dengan pada saat penghasilan diterima oleh wajib pajak.
4. Memenuhi aspek efisiensi, yaitu biaya pungutannya tidak boleh lebih besar dari pada pajak yang dipungut.

Jika bersandar pada teori ini, pada praktiknya, tidak satu pun negara di dunia termasuk Indonesia memenuhinya. Masyarakat malah merasa bahwa pungutan pajak mencekik leher akibat semakin beragam pungutannya dan semakin progresif nilainya.

Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal dan menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonominya, karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Cara gampang mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai solusi. Wajar jika negara dengan gigih mendorong rakyat membayar pajak, bahkan mempropagandakan bahwa warga negara yang baik adalah yang taat pajak.

Padahal, sesungguhnya negeri kita ini kaya akan sumber daya alam yang jika dikelola dengan baik dapat digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat. Tetapi, masalahnya negeri ini telah salah dalam mengelola SDA karena diserahkan kepada asing, sehingga kebutuhan pokok rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara jadi dikenai pajak.

Di sisi lain, jika kenaikan pajak benar-benar diberlakukan, hal ini sudah tentu berpengaruh pada kenaikan harga kebutuhan rakyat, padahal saat ini saja harga-harga sudah tinggi. Kenaikan PPN dari tahun ke tahun berpengaruh terhadap semakin menurunnya kelompok kelas menengah masyarakat negeri ini. Padahal kelompok tersebut merupakan penopang perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi penurunan jumlah kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Hampir 10 juta orang di kalangan menengah turun kasta dalam kurun waktu tersebut.

Sebuah hadist menyatakan, “Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya pada Hari Kiamat” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Di dalam Islam sendiri, pungutan yang dilakukan negara yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW di Madinah adalah pungutan zakat mal, yang dikenakan terhadap tanah produktif dan tanah kharaj.

Teori Adam Smith tadi justru terjadi dalam sistem pungutan Islam, bukan terjadi dalam sistem pajak di sistem kapitalisme. Poin pertama menyatakan bahwa sistem pajak seharusnya adil, namun faktanya tidak pernah adil. Sementara dalam Islam, sistem zakat terlihat sangat adil, karena hanya dibebankan kepada orang kaya.

Kemudian yang kedua, bahwa dalam pajak harus terdapat unsur kepastian, ini pun pada faktanya tidak pernah pasti, karena tarifnya terus naik. Sementara dalam sistem zakat mal, tarifnya tidak boleh diubah atau dimodifikasi karena sumbernya terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi, unsur kepastian ditemui pada sistem pungutan dalam Islam.

Lalu yang ketiga, harus berbasis kemudahan, yaitu dipungut saat dekat dengan penghasilan. Faktanya, meskipun penghasilan masyarakat tidak naik atau mereka tidak mendapat penghasilan, pajak terus diberlakukan. Sementara zakat mal dipungut ketika terkena haulnya (batasan waktu kepemilikan harta), dan sudah mencapai nisabnya (batas minimal harta). Jika tidak mencapai nisab, pajak tidak dipungut, dan bisa dibayarkan dalam bentuk apa pun.

Yang keempat dikatakan bahwa pajak haruslah efisien. Faktanya, banyak pungutan pajak yang dikorupsi oleh siapa pun yang terlibat dalam proses pemungutannya. Sementara dalam Islam, karena terdapat aspek ruhiyah, biaya pungutannya rendah dan tidak memerlukan sistem organisasi yang membutuhkan biaya besar.

Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan Baitul Mal (kas negara), sebab sumber-sumber pemasukan tetap negara adalah dari fa’i, kharaj, jizyah, dan hasil eksplorasi SDA.

Pajak hanya akan ditarik dari warga negara muslim yang kaya ketika terjadi kondisi tertentu, semisal adanya bencana alam atau peperangan, ataupun ketika negara harus membayar gaji pegawainya, sedangkan harta di Baitul Mal kosong. Setelah masalahnya teratasi, penarikan pajak harus segera dihentikan.

Pajak perdagangan pun cara menghitungnya berdasarkan profit, bukan ketika dijual, sehingga tidak akan memengaruhi kurva penawaran barang, tidak berdampak pada berkurangnya jumlah barang, dan tidak terjadi kenaikan harga.

Ini menjadi insentif tersendiri untuk para pedagang guna mencari keuntungan yang lebih progresif, sejalan dengan kewajibannya membayar pajak, sehingga semakin meningkat keuntungannya, jumlah pajak yang akan diterima juga semakin meningkat.

Sedangkan PPN, pengenaan pajak terhadap harga jual mengakibatkan berkurangnya penawaran barang di pasar sementara harga jualnya naik. Sistem ini terlihat tidak mampu menjawab tantangan produktivitas perdagangan yang semakin meluas di era ini.

Sudah saatnya Indonesia berbenah. Sistem keuangan negara tidak harus mengacu pada teori-teori yang sudah usang, yang tidak mampu menjawab tantangan perubahan zaman. Satu-satunya konsep yang berhasil memberikan solusi yang tuntas terhadap masyarakat, khususnya pungutan dalam perdagangan ini, hanyalah konsep syariat Islam, yang sudah terbukti keunggulannya selama 13 abad. Wallahu a’lam bi shawab. 

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter