Pusaran Arus Mematikan Sistem Zonasi PPDB

Oleh Lika Rosliana

Tidak dipungkiri, pendidikan memang hal krusial dan esensial bagi setiap individu manusia. Pendidikan tidak hanya sekedar kebutuhan dasar yang wajib terpenuhi, tetapi juga aspek penting dalam membentuk peradaban yang mulia. Pendidikan tidak hanya menjadi hak bagi setiap warga negara dalam penerimaannya, tetapi juga kewajiban negara secara penuh dalam pemenuhan dan pelayanannya.
Bulan Juni dan Juli memang identik dengan bulan pendaftaran siswa baru. Ratusan ribu bahkan jutaan orangtua di seluruh Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan anaknya untuk memasuki jenjang pendidikan SD, SMP, maupun SMA yang diinginkan. Perebutan sekolah favorit selalu menjadi dinamika yang turut mewarnai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tiap tahunnya. Tidak berbeda dengan tahun sebelumnya, kisruh PPDB tahun ini pun berulang akibat masih diberlakukannya sistem zonasi PPDB.
Sistem zonasi pada PPDB diatur dalam Permendikbud No.17 tahun 2017 tentang PPDB TK, SD, SMP, SMA, dan SMK dan bentuk lainnya yang sederajat dan sistem zonasi ini langsung diterapkan pada masa pendaftaran siswa baru bulan juni juli 2017/2018. Sistem zonasi PPDB ini merupakan terobosan baru Mendikbud Muhadjir Effendi yang tujuannya adalah untuk menyebar calon peserta didik dengan kemampuan rata-rata dan mengurangi status sekolah favorit atau unggulan. Mendikbud berharap sistem zonasi ini tidak hanya untuk pemerataan akses layanan pendidikan saja, tetapi juga pemerataan kualitas pendidikan.
Namun nyatanya, dengan diberlakukannya sistem zonasi ini malah menimbulkan kekisruhan. Beberapa kasus yang turut mewarnai pusaran dinamika sistem zonasi PPDB ini terjadi dari tahun 2017 sampai sekarang. Siswa SMP di Blitar bunuh diri akibat tidak bisa memasuki sekolah yang diinginkan tahun 2018 kemarin. Belum lagi sejumlah aksi protes penolakan sistem zonasi PPDB dari orangtua murid yang terjadi berulang setiap tahunnya dan terjadi di beberapa wilayah di indonesia. Seperti yang dikutip laman detik.com, seratusan orangtua murid SMP Negeri 21 Pekanbaru menggelar aksi protes karena anak-anak mereka tidak diterima di sekolah tersebut.
Kasus lain yang terjadi akibat diberlakukannya sistem zonasi ini adalah banyaknya sekolah yang minim murid dan hal ini terjadi di beberapa kota di Indonesia. Dilansir laman kompas.com, sebanyak 20 SD di Magelang dan beberapa SMP di Kendal masih kekurangan siswa. Bahkan, SMPN 2 Rejotangan di Blitar dalam PPAB 2019 ini hanya mampu menjaring lima siswa. Meskipun pihak sekolah mengungkapkan banyak faktor yang melatarbelakangi minimnya siswa yang terjaring pada PPDB tahun ini, namun kuat dugaan hal tersebut terjadi karena diberlakukannya sistem zonasi dalam dua tahun terakhir ini. Penurunan siswa yang terjaring sekolah menurun setelah diberlakukannya sostem zonasi dalam dua tahun terakhir.
Dampak lain dari diberlakukannya sistem zonasi ini adalah adanya permainan Kartu Keluarga (KK) dimana siswa yang mendaftar di sekolah yang diinginkan dititipkan ke kartu keluarga terdekat yang berada di sekitar lokasi sekolah. Seperti yang dilansir laman kompas.com, Dewan Pendidikan Kota Kediri mencurigai banyaknya kartu keluarga (KK) titipan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) jenjang SMA/SMK di Kota Kediri. Sehingga Akibatnya, anak warga asli Kota Kediri gagal masuk zona sekolah dekat rumah mereka.
Dari sederet kasus sengkarut sistem zonasi ini, mengungkapkan fakta dibalik 'niat baik' pemerintah terhadap pelayanan pendidikannya. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan, dimana rasionalitasnya sistem zonasi mempermudah akses pendidikan, meniadakan diskriminasi, dan mendorong pemerataan serta peningkatan kualitas pendidikan? Justru dari fakta-fakta tersebut membuktikan kebijakan pemerintah yang tidak bijak karena tidak menyentuh akar masalah kesenjangan dalam bidang pendidikan.
Kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia memang belum pernah terpecahkan dan tidak hanya menyangkut kualitas pembelajaran, tapi fisik berupa gedung dan peralatan pun terjadi kesenjangan. Masalah kesenjangan ini pun kompleks. Tidak hanya tergantung pada suprastruktur pendidikannya saja (kinerja satu kementerian yang mengurusi pendidikan saja, yaitu Kemdikbud, Kemenristek Dikti, dan Kemenag), tapi juga kementerian-kementerian lain yang menyediakan infrastruktur jalan, transportasi, bangunan, listrik, dan telekomunikasi. Semuanya saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Sehingga akar problem pendidikan adalah pemerataan pembangunan bidang infrastruktur dan suprastruktur pendidikan yang belum terwujud.
Solusi dari adanya kesenjangan ini dimulai dari memperbaiki paradigma pendidikan dan implementasinya. Sistem kapitalisme sekuler nyatanya telah mengoyak terwujudnya pendidikan yang bermutu karena minimnya tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak warganya. Hal ini tidak terlepas dari paradigma kapitalisme dalam memandang segala sesuatu tidak akan pernah memberikan kebaikan kecuali bagi para kapital (pemilik modal). Masyarakat secara komunal hanya mendapatkan imbas derita.
Pemerataan pendidikan yang menghasilkan generasi emas tidak akan pernah terwujud jika pendidikan masih tersandera kapitalisasi. Islam dengan sistem kehidupannya yang komprehensif terbukti mampu menciptakan atmosfer pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam siatem islam, pendidikan menjadi mercusuar peradaban yang memancarkan kemaslahatan bagi kehidupan. Kegemilangan-kegemilangan yang ditorehkan peradaban islam merupakan hasil dari paradigma khas yang terpancar dari islam. Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Sehingga negara wajib memberikan pengurusan dan pelayanan secara optimal dan negara wajib memenuhi kebutuhan tersebut secara maksimal di seluruh wilayahnya. Negara mebebaskan biaya bagi pencari ilmu dan menanggung seluruh biaya pendidikan dari pengelolaan SDA nya sehingga kemuliaan ilmu bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Wallahu'alamu bishawab.[]

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter